Kamis, 27 September 2012

Kisah Inspiratif II : Ketika Ukhuwah Berkisah

           Menjalani kepaniteraan klinik selama 17 bulan, menghadirkan beragam kisah yang layak untuk diceritakan, nikmat untuk dikenang, tidak untuk diulang. Stase daerah, waktu yang kami tunggu sebagai dokter muda, hampir semua bagian memiliki RS jejaring yang menjadi lahan pembelajaran kami. Sejenak waktu berlibur, setidaknya aktivitas akademik tidak sepadat di RS pusat pendidikan. Di RS jejaring, dokter muda lebih banyak mendapatkan tindakan karna tidak perlu berlomba dengan kehadiran residen, kalaupun ada mereka akan jadi  pembimbing dan sahabat selama satu atau dua minggu. Setidaknya merasa lebih terhormat, tak lagi mendengar teriakan “cooooaaaasssss”, bahkan di beberapa RS kami diberi fasilitas yang bisa dinikmati dokter muda, mess yang lengkap dengan isinya, makan 3 x sehari, laundry, dah serasa jadi dokter sungguhan..
            Bersabarlah, empat minggu harus menunggu jadwal stase daerah ku, dan saat menyiapkan bekal selama menjalani stase bedah di kota Padang ini.  Menempuh 3,5 jam bukanlah waktu yang lama, keelokan rupa alam membuat kami terlupa akan jauhnya perjalanan. Saat-saat menyaksikan puing reruntuhan sebagai saksi gempa 30 September, saat-saat memandang hijaunya hutan lindung yang ditemani gemericik air sungai menyapa bebatuan, saat-saat melihat cantiknya air terjun Lembah Anai yang jatuhnya tepat di tepi jalan yang kami lewati, saat – saat menghirup segarnya udara Padang Panjang, saat kami melewati tepian kota Bukittinggi yang menghadirkan aura kalau ia pantas dijuluki kota wisata..
            Jam tangan ku mengabari pukul 19.00 WIB, saat travel yang kami tumpangi memutar arah ke kiri, memasuki komplek RSUD Adnan WD Payakumbuh. Dua minggu ke depan, akan menjalani stase Bedah di sini. Serasa pindahan rumah, tidak hanya pakaian, satu kardus mie instan yang berisi buku Bedah tak mau ketinggalan. Hanya ada tiga dokter muda yang ditugaskan, sedang yang lain menyebar di 4 RSUD lainnya dan ada yang bertugas di Padang. Alhamdulillah, mujurku ditempatkan bersama dua orang akhwat, Ukht Nae dan Oca, setidaknya kesamaan pola pikir kami, membuatku lebih terjaga dalam ibadah dan member kesempatan bagiku untuk menjalankan misi lainnya tanpa harus meninggalkan tujuan utama “kepaniteraan klinik bedah”.
            Kami diberikan dua ruang yang dijadikan sebagai kamar dokter muda, tepat di atas IGD, ruang berukuran 4 x 5 lengkap dengan AC-nya. Selain kami, ada enam dokter muda bagian Anak yang berpraktek di RSUD Adnan WD ini.
***
            Payakumbuh, kota yang tak asing lagi bagiku, hanya sebuah kota kecil yang sangat dekat dengan provinsi tetangga . Seusai pendidikan di kampus, dua bulan mesti mengikuti program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di tepian kota ini, berinteraksi dengan beragam jurusan, sedangkan aku sendiri membawa misi  dalam membina dokter kecil, gerakan jamban sehat,dan mengaktifkan posyandu, cukup baik sambutan dari masyarakat. Tak perlu canggung untuk kembali ke kota ini. Empat bulan yang lalu, seminggu lamanya aku menjalani stase Anak di d “Kota Batiah” ini, cukuplah untuk mengenal suasana RSUD Adnan WD, RS tipe C yang juga dijadikan wahana dokter internship, senior ku angkatan 2004 yang mesti mengikuti program internship perdana di Indonesia.
***
Senin pagi berkisah, pukul 07.00 WIB, tiga orang dokter muda melangkah ke bangsal Teratai, sebutan untuk bangsal bagian Bedah, mem-follow up pasien yang semalam telah kami, tiap dokter muda akan melaporkan pasiennya saat visite dengan konsulen nanti. Itupun kami lakukan, hanya 16 pasien dibagi 3, berarti 6 pasien yang mesti ku periksa pagi ini, tentunya setelah mempelajari status pasien yang jadi tanggung jawabku. Mendapat cerita turun – temurun, kalau konsulen hari ini dr. Agus Sp.B yang selalu visite dengan bahasa Inggris kepada dokter muda yang memberikan laporan. Seharusnya amat beruntung, selain tantangan, setidaknya kami tidak malu jikalau ia sedang marah dengan bahasa yang kami harap tidak dimengerti sang pasien.
Satu per satu ku follow up - i, terakhir Tn.Nadran, pasien laki-laki 66 tahun, menempati ruang kelas I dengan diagnosa selulitis. Ruangnya tepat di pintu masuk, ku lihat ia masih berselimut. Ku minta istrinya untuk membangunkannya. Di awali dengan perkenalan diri sebagai dokter muda yang bertugas 2 minggu ke depan,  amat bersahabat kesan pertamaku. Kakinya yang ditinggikan terlihat masih sedikit bengkak dan berwarna kemerahan. Setelah ku follow-up, sama seperti pasien yang lain, tak lupa ku tinggalkan nomor handphone ku pada nya, sambil meninggalkan pesan, “Pak, tiap hari kita akan bertemu, jika ada apa-apa dan butuh bantuan, Bapak bisa menghubungi nomor saya ini..”
Seorang laki-laki seumuran Ayah ku masuk ke bangsal. Dr.Agus Sp.B, konsulen yang kami tunggu. Dilihat dari parasnya jauh terkesan lebih muda, dibalut jeans dan kemeja serta komunikasinya yang humoris. Kamipun memperkenalkan diri, sebagai dokter muda yang akan praktek 2 minggu menggantikan kawan sejawat kami sebelumnya.
Dag..dig..dug.., melangkah ke ujung bangsal, kami pun bersiap-siaga melaporkan tiap pasien. “Harap dimaklumi saja jika saat diskusi akan membuat Bapak tertawa dengan kemampuanku, karena untuk visite saat ini tentu telah kusiapkan dan laporannya pun telah ditranslate sebelumnya”, pikirku dalam hati. Ternyata tak separah cerita, sesekali ku selipkan bahasa Indonesia, karna kosa kata ku telah terbentur dengan ketidak tahuan. Sampai jua ke pasien terakhir, Tn.Nadran..
Saat pintu ruang dibuka, “How are you to day ?”, ujar dr.Agus memulai visite.. “Alhamdulillah, I am healthy. It’s nice to meet you again Sir. My leg has been better, I have stopped smoking. When can I go home ?..”, ujar Tn.Nadran. Mereka pun berinteraksi berdua dengan akrab, tanpa mesti ku laporkan dan terkesima dengan kemampuan bahasa Inggris Tn. Nadran.
Lima hari lagi, Tn.Nadran direncanakan pulang, berarti kami akan kehilangannya, tiada ada lagi percakapan dengan bahasa Inggris antara pasien dan dokter, tiada lagi pasien yang akan kami dengarkan cerita-cerita masa lalunya. Kami bertiga telah menganggapnya sebagai kakek sendiri. Saat - saat pagi membangunkan tidurnya dan menanyakan sholat Subuhnya, saat – saat mendapatinya merokok diam – diam dan akhirnya rokoknya mesti kami sita.
Sabtu pagi kelabu.. Saat Tn.Nadran akan pamitan untuk pulang ke rumah, ia menawarkan untuk berkunjung ke rumahnya yang hanya 30 menit dari RS. Tidak terlalu jauh, kami pilih hari Kamis depan untuk silaturahim ke rumah, sekalian buka puasa di sana.
***
            Kamis siang, ia menelpon ku, jam 17.00 WIB  kami akan dijemput, dan diminta untuk bersiap – siap. Tak lupa memberi tahu dokter jaga dan perawat, meminta izin berkunjung ke rumah pasien, secara tidak langsung izin untuk tidak bertugas selama 3 jam di IGD. Benar adanya, menjelang waktu yang dijanjikan Tn. Nadran sudah datang, mengendarai mobil pribadi ditemani istri dan cucunya. Sejenak kami singgah di Pasar Ibuah, untuk membeli buah dan beberapa catatan di kertas yang memang sudah disiapkannya dari rumah.
 Jika pernah berkunjung ke Payakumbuh, maka tak sulit untuk menemukan rumah Tn.Nadran yang berdekatan dengan pemandian Batang Tabik. Namun, karna kami bertiga belum pernah ke objek wisata ini, maka perjalanan Kamis sore menjadi suasana yang baru.
            Rumah tua berlantai dua, terkesan lebih besar dibanding rumah penduduk sekitar. Hanya ditempati oleh mereka berdua, sedang dua anaknya merantau, sesekali si Wawan, cucu dari anak sulungnya yang menemani tidur di rumah. Ukhti Nae dan Oca langsung diajak menuju dapur buat menyiapkan makanan sedangkan aku tetap di ruang keluarga berbincang dengan Tn.Nadran - sang kakek sambil menyaksikan berita sore yang disiarkan TV.
Azan pun berkumandang, pertanda saatnya waktu berbuka. Menu malam ini : gulai ayam, telur dadar, tumis kangkung dan sambalado teri menemani makan malam kami. Berbaur dalam suasana kekeluargaan, membuat masakan terasa lebih nikmat. Sesekali sobatku Oca mendokumentasikan lewat kamera handphone nya. Rasa ingin bermalam di sini, namun jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB, kami pun mesti kembali untuk melanjutkan tugas jaga, karna hal ini menyangkut attitude dan tanggung jawab.
Kembali ke rumah sakit, kali ini ukhti Oca yang bertindak sebagai sopir, karna diantara kami bertiga hanya beliau yang bisa mengendarai mobil. Kenangan yang tak terlupa, malam ini mengakhiri perjumpaan kami dengan Tn.Nadran.
***

Ketika ku baca firmanNya, “sungguh tiap mukmin bersaudara”
Aku merasa, kadang ukhuwah tak perlu dirisaukan
Tak perlu, karena ia hanyalah akibat dari iman (Salim A.Fillah)

            Ketika ukhuwah berkisah, segalanya adalah cermin dan pembelajaran. Memahami akan nikmatnya interaksi, tak mesti ada perbedaan antara dokter - perawat - pasien, semua meleburkan diri dalam kajian simbiosis mutualisme. Mengisahkan jejak - jejak impianku, saat - saat menyapa pasien di tiap pagi, saat tak ada kekhawatiran memberikan nomor handphone ku, saat senantiasa mengingatkan ibadahnya, saat membawakan makanan seadanya di tiap follow up harian, saat berkunjung ke rumah mereka, saat pertemuan kami mengubah jalan cerita dokter muda - pasien menjadi hubungan kakek – cucu, orang tua – anak, adik – kakak, dan persahabatan.. 

*Tulisan karya dr. Poby Karmendra ini terangkum dalam antalogi kisah nyata inspiratif  "Jalan Menuju Dokter Muslim" yang diterbitkan oleh Indie Pro Publishing pada awal 2012 dan telah masuk pada cetakan ke II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar