Kamis, 27 September 2012

Kisah Inspiratif II : Ketika Ukhuwah Berkisah

           Menjalani kepaniteraan klinik selama 17 bulan, menghadirkan beragam kisah yang layak untuk diceritakan, nikmat untuk dikenang, tidak untuk diulang. Stase daerah, waktu yang kami tunggu sebagai dokter muda, hampir semua bagian memiliki RS jejaring yang menjadi lahan pembelajaran kami. Sejenak waktu berlibur, setidaknya aktivitas akademik tidak sepadat di RS pusat pendidikan. Di RS jejaring, dokter muda lebih banyak mendapatkan tindakan karna tidak perlu berlomba dengan kehadiran residen, kalaupun ada mereka akan jadi  pembimbing dan sahabat selama satu atau dua minggu. Setidaknya merasa lebih terhormat, tak lagi mendengar teriakan “cooooaaaasssss”, bahkan di beberapa RS kami diberi fasilitas yang bisa dinikmati dokter muda, mess yang lengkap dengan isinya, makan 3 x sehari, laundry, dah serasa jadi dokter sungguhan..
            Bersabarlah, empat minggu harus menunggu jadwal stase daerah ku, dan saat menyiapkan bekal selama menjalani stase bedah di kota Padang ini.  Menempuh 3,5 jam bukanlah waktu yang lama, keelokan rupa alam membuat kami terlupa akan jauhnya perjalanan. Saat-saat menyaksikan puing reruntuhan sebagai saksi gempa 30 September, saat-saat memandang hijaunya hutan lindung yang ditemani gemericik air sungai menyapa bebatuan, saat-saat melihat cantiknya air terjun Lembah Anai yang jatuhnya tepat di tepi jalan yang kami lewati, saat – saat menghirup segarnya udara Padang Panjang, saat kami melewati tepian kota Bukittinggi yang menghadirkan aura kalau ia pantas dijuluki kota wisata..
            Jam tangan ku mengabari pukul 19.00 WIB, saat travel yang kami tumpangi memutar arah ke kiri, memasuki komplek RSUD Adnan WD Payakumbuh. Dua minggu ke depan, akan menjalani stase Bedah di sini. Serasa pindahan rumah, tidak hanya pakaian, satu kardus mie instan yang berisi buku Bedah tak mau ketinggalan. Hanya ada tiga dokter muda yang ditugaskan, sedang yang lain menyebar di 4 RSUD lainnya dan ada yang bertugas di Padang. Alhamdulillah, mujurku ditempatkan bersama dua orang akhwat, Ukht Nae dan Oca, setidaknya kesamaan pola pikir kami, membuatku lebih terjaga dalam ibadah dan member kesempatan bagiku untuk menjalankan misi lainnya tanpa harus meninggalkan tujuan utama “kepaniteraan klinik bedah”.
            Kami diberikan dua ruang yang dijadikan sebagai kamar dokter muda, tepat di atas IGD, ruang berukuran 4 x 5 lengkap dengan AC-nya. Selain kami, ada enam dokter muda bagian Anak yang berpraktek di RSUD Adnan WD ini.
***
            Payakumbuh, kota yang tak asing lagi bagiku, hanya sebuah kota kecil yang sangat dekat dengan provinsi tetangga . Seusai pendidikan di kampus, dua bulan mesti mengikuti program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di tepian kota ini, berinteraksi dengan beragam jurusan, sedangkan aku sendiri membawa misi  dalam membina dokter kecil, gerakan jamban sehat,dan mengaktifkan posyandu, cukup baik sambutan dari masyarakat. Tak perlu canggung untuk kembali ke kota ini. Empat bulan yang lalu, seminggu lamanya aku menjalani stase Anak di d “Kota Batiah” ini, cukuplah untuk mengenal suasana RSUD Adnan WD, RS tipe C yang juga dijadikan wahana dokter internship, senior ku angkatan 2004 yang mesti mengikuti program internship perdana di Indonesia.
***
Senin pagi berkisah, pukul 07.00 WIB, tiga orang dokter muda melangkah ke bangsal Teratai, sebutan untuk bangsal bagian Bedah, mem-follow up pasien yang semalam telah kami, tiap dokter muda akan melaporkan pasiennya saat visite dengan konsulen nanti. Itupun kami lakukan, hanya 16 pasien dibagi 3, berarti 6 pasien yang mesti ku periksa pagi ini, tentunya setelah mempelajari status pasien yang jadi tanggung jawabku. Mendapat cerita turun – temurun, kalau konsulen hari ini dr. Agus Sp.B yang selalu visite dengan bahasa Inggris kepada dokter muda yang memberikan laporan. Seharusnya amat beruntung, selain tantangan, setidaknya kami tidak malu jikalau ia sedang marah dengan bahasa yang kami harap tidak dimengerti sang pasien.
Satu per satu ku follow up - i, terakhir Tn.Nadran, pasien laki-laki 66 tahun, menempati ruang kelas I dengan diagnosa selulitis. Ruangnya tepat di pintu masuk, ku lihat ia masih berselimut. Ku minta istrinya untuk membangunkannya. Di awali dengan perkenalan diri sebagai dokter muda yang bertugas 2 minggu ke depan,  amat bersahabat kesan pertamaku. Kakinya yang ditinggikan terlihat masih sedikit bengkak dan berwarna kemerahan. Setelah ku follow-up, sama seperti pasien yang lain, tak lupa ku tinggalkan nomor handphone ku pada nya, sambil meninggalkan pesan, “Pak, tiap hari kita akan bertemu, jika ada apa-apa dan butuh bantuan, Bapak bisa menghubungi nomor saya ini..”
Seorang laki-laki seumuran Ayah ku masuk ke bangsal. Dr.Agus Sp.B, konsulen yang kami tunggu. Dilihat dari parasnya jauh terkesan lebih muda, dibalut jeans dan kemeja serta komunikasinya yang humoris. Kamipun memperkenalkan diri, sebagai dokter muda yang akan praktek 2 minggu menggantikan kawan sejawat kami sebelumnya.
Dag..dig..dug.., melangkah ke ujung bangsal, kami pun bersiap-siaga melaporkan tiap pasien. “Harap dimaklumi saja jika saat diskusi akan membuat Bapak tertawa dengan kemampuanku, karena untuk visite saat ini tentu telah kusiapkan dan laporannya pun telah ditranslate sebelumnya”, pikirku dalam hati. Ternyata tak separah cerita, sesekali ku selipkan bahasa Indonesia, karna kosa kata ku telah terbentur dengan ketidak tahuan. Sampai jua ke pasien terakhir, Tn.Nadran..
Saat pintu ruang dibuka, “How are you to day ?”, ujar dr.Agus memulai visite.. “Alhamdulillah, I am healthy. It’s nice to meet you again Sir. My leg has been better, I have stopped smoking. When can I go home ?..”, ujar Tn.Nadran. Mereka pun berinteraksi berdua dengan akrab, tanpa mesti ku laporkan dan terkesima dengan kemampuan bahasa Inggris Tn. Nadran.
Lima hari lagi, Tn.Nadran direncanakan pulang, berarti kami akan kehilangannya, tiada ada lagi percakapan dengan bahasa Inggris antara pasien dan dokter, tiada lagi pasien yang akan kami dengarkan cerita-cerita masa lalunya. Kami bertiga telah menganggapnya sebagai kakek sendiri. Saat - saat pagi membangunkan tidurnya dan menanyakan sholat Subuhnya, saat – saat mendapatinya merokok diam – diam dan akhirnya rokoknya mesti kami sita.
Sabtu pagi kelabu.. Saat Tn.Nadran akan pamitan untuk pulang ke rumah, ia menawarkan untuk berkunjung ke rumahnya yang hanya 30 menit dari RS. Tidak terlalu jauh, kami pilih hari Kamis depan untuk silaturahim ke rumah, sekalian buka puasa di sana.
***
            Kamis siang, ia menelpon ku, jam 17.00 WIB  kami akan dijemput, dan diminta untuk bersiap – siap. Tak lupa memberi tahu dokter jaga dan perawat, meminta izin berkunjung ke rumah pasien, secara tidak langsung izin untuk tidak bertugas selama 3 jam di IGD. Benar adanya, menjelang waktu yang dijanjikan Tn. Nadran sudah datang, mengendarai mobil pribadi ditemani istri dan cucunya. Sejenak kami singgah di Pasar Ibuah, untuk membeli buah dan beberapa catatan di kertas yang memang sudah disiapkannya dari rumah.
 Jika pernah berkunjung ke Payakumbuh, maka tak sulit untuk menemukan rumah Tn.Nadran yang berdekatan dengan pemandian Batang Tabik. Namun, karna kami bertiga belum pernah ke objek wisata ini, maka perjalanan Kamis sore menjadi suasana yang baru.
            Rumah tua berlantai dua, terkesan lebih besar dibanding rumah penduduk sekitar. Hanya ditempati oleh mereka berdua, sedang dua anaknya merantau, sesekali si Wawan, cucu dari anak sulungnya yang menemani tidur di rumah. Ukhti Nae dan Oca langsung diajak menuju dapur buat menyiapkan makanan sedangkan aku tetap di ruang keluarga berbincang dengan Tn.Nadran - sang kakek sambil menyaksikan berita sore yang disiarkan TV.
Azan pun berkumandang, pertanda saatnya waktu berbuka. Menu malam ini : gulai ayam, telur dadar, tumis kangkung dan sambalado teri menemani makan malam kami. Berbaur dalam suasana kekeluargaan, membuat masakan terasa lebih nikmat. Sesekali sobatku Oca mendokumentasikan lewat kamera handphone nya. Rasa ingin bermalam di sini, namun jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB, kami pun mesti kembali untuk melanjutkan tugas jaga, karna hal ini menyangkut attitude dan tanggung jawab.
Kembali ke rumah sakit, kali ini ukhti Oca yang bertindak sebagai sopir, karna diantara kami bertiga hanya beliau yang bisa mengendarai mobil. Kenangan yang tak terlupa, malam ini mengakhiri perjumpaan kami dengan Tn.Nadran.
***

Ketika ku baca firmanNya, “sungguh tiap mukmin bersaudara”
Aku merasa, kadang ukhuwah tak perlu dirisaukan
Tak perlu, karena ia hanyalah akibat dari iman (Salim A.Fillah)

            Ketika ukhuwah berkisah, segalanya adalah cermin dan pembelajaran. Memahami akan nikmatnya interaksi, tak mesti ada perbedaan antara dokter - perawat - pasien, semua meleburkan diri dalam kajian simbiosis mutualisme. Mengisahkan jejak - jejak impianku, saat - saat menyapa pasien di tiap pagi, saat tak ada kekhawatiran memberikan nomor handphone ku, saat senantiasa mengingatkan ibadahnya, saat membawakan makanan seadanya di tiap follow up harian, saat berkunjung ke rumah mereka, saat pertemuan kami mengubah jalan cerita dokter muda - pasien menjadi hubungan kakek – cucu, orang tua – anak, adik – kakak, dan persahabatan.. 

*Tulisan karya dr. Poby Karmendra ini terangkum dalam antalogi kisah nyata inspiratif  "Jalan Menuju Dokter Muslim" yang diterbitkan oleh Indie Pro Publishing pada awal 2012 dan telah masuk pada cetakan ke II.

Kisah Inspiratif : Dari Balik Dinding Pesantren


Kawan, sejenak kita hentikan pembicaraan karna handphone ku berdering, tanda ada SMS masuk. Pesan dari 0831815xxxxx, nomor pengelola wisma, sejenak ku bacakan biar engkau bisa mendengarkannya :
“Sebuah tempat tinggal bernama wisma, menjalin ukhuwah dan kebersamaan untuk sebuah cita – cita mulia. Tempat belajar untuk saling menghargai dan menghormati saudara. Belajar untuk bisa saling memahami dan menasehati. Pelepas lelah dan letih di tengah kesibukan kampus dan rumah sakit yang luar biasa. Tempat menumbuhkan kembali bibit – bibit semangat yang telah terkikis karena berbagai kesibukan yang ada. Ikhwafillah, ana yakin kita semua pasti tahu dan sadar bagaimana kondisi wisma sekarang ini. Fungsinya sudah jauh melebar dari apa yang seharusnya. Ikhwafillah, mari bertekad untuk memperbaiki fungsi wisma kembali. Mulailah dari diri kita pribadi.
1.      Perbaiki diri untuk semakin dekat dengan Allah karena keshalehan kita bisa berpengaruh bagi saudara kita.
2.      Mari tumbuhkan kembali semangat bahwa wisma adalah rumah kita yang harus dijaga kebersihan dan kenyamanannya.
3.      Mari hiasi wisma di waktu luang untuk tilawah qur’an, belajar, diskusi tentang kebaikan dan silaturahim.
4.      Mari saling mengingatkan untuk kebaikan.
By : BPW (Badan Pengelola Wisma) FK UNAND, berbenah untuk masa depan wisma yang cemerlang.”
SMS kali ini menyadarkan ku dengan keadaan wisma saat ini. Mesti tak lagi jadi bahagian pengelola, namun keadaan sekarang tak bisa terlepas dari posisi ku sebagai santri yang paling senior di sini, sudah 5 tahun. Wisma begitulah kami menyebutnya, sebuah pesantren mahasiswa yang dimiliki tiap fakultas. Kedokteran memiliki 3 wisma ikhwan dan 7 diperuntukan bagi akhwat , ia dikelola oleh Badan Pengelola Wisma. Tak jauh berbeda dengan kontrakan, hanya saja di sini terdapat aturan dan program pembinaan, biasanya selalu ditawarkan saat Bimbingan Mahasiswa Baru (BIMBA), jika setuju maka sang junior akan ditempatkan di wisma berbaur dengan penghuni lama yang berlatar angkatan dan daerah yang berbeda.
***
            Sabtu siang, akhirnya usai jua mengikuti tes TOEFL di Auditorium UNAND setelah melakukan kesalahan besar dengan datang terlambat. Masih ingat dalam ingatanku, matahari terik memanasi ubun – ubun kami saat sampai di kampus Jati, begitulah orang mengenal lokasi kampus kedokteran yang terpisah dari kampus pusatnya di Jerman – Jeruk Manis (red : Limau Manih). Butuh 45 menit perjalanan dengan bus kota karena mesti melewati Pasar, ditemani bunyi musik yang memecahkan gendang telinga, namun sepertinya telah menjadi ciri khas bus kota.
            Terlihat tak begitu besar, gedung putih berbentuk bundar menyapa kehadiran kami, sepertinya inilah rupa gedung utama. Kami hanya bertiga datang ke Jati, aku seorang diri dan kawan ku  Yusuf, seorang mahasiswa baru yang ku kenal sejak SMA, ia datang bersama bapaknya yang berperawakan seperti seorang datuk. Datangnya kami ke Jati, hanya untuk mencari tahu keberadaan wisma Ababil.
            Langkah ku berlanjut ke dalam kampus, sempat tertipu dengan penampilan luarnya, kampus yang sangat panjang.  Berjalan perlahan sambil memandangi mahasiswa berseragam hitam - putih, jelas sekali parasnya sebagai mahasiswa kedokteran, tak lepas buku dari tangan mereka, asyik sekali bercerita, sesekali ada yang bersorak, sepertinya sedang membahas soal ujian yang baru usai mereka hadapi. Ragu untuk bertanya, saat bingung melanda ku dapati dua orang berbaju koko berjalan memasuki gerbang kampus FK, serupa benar gayanya dengan mentorku waktu di SMA. Ku dekati mereka sambil mengajak Yusuf dan bapaknya.
            “Assalamu’alaikum, Bg kenalkan saya Poby mahasiswa baru 2005”, sambil bersalaman dan memperkenalkan Yusuf..
            “Ya Dek,saya Randi biasa disapa Bubuy angkatan 2002 dan ini Mukri angkatan 2004, ada yang bisa dibantu ?”, jawabnya penuh keakraban.
            “Saya mau cari wisma Ababil, mentor saya di SMA menyarankan untuk tinggal di  wisma Ababil saja jika lulus kedokteran”, tanya ku
            “Oo..wisma Ababil sudah tak ada lagi Dek, yang ada wisma Tarbawi  di komplek PJKA, abang juga tinggal di sana, nanti abang antar. Sudah sholat Dzuhur ? yuk, kita ke belakang dulu, mungkin anak – anak wisma juga lagi kumpul di sana..” ia pun memberi sedikit penjelasan, sambil melangkah ke mushala Asyifa.
            Usai dzuhur, diperkenalkannya kami dengan beberapa mahasiswa lainnya, mereka aktivis kampus,  pengurus Forum Studi Kedokteran Islam (FSKI) seperti Rohis di SMA ku. Tak lama menunggu, seorang mahasiswa  angkatan 2003 mengantarkan ku ke wisma yang dimaksud. Aulia Rahman, mahasiswa asal Pekanbaru yang cukup kharismatik. Perjalanan yang cukup melelahkan, agar tak terlalu memutar jalan, kami diajak mengambil jalan pintas meniti pematang sawah. Rasa penasaran memenuhi ruang pikiranku..
            Rumah bertuliskan “ahlan wa sahlan, Wisma Tarbawi”, menegaskan ini rumah yang dimaksudkan,  tidaklah  terlalu besar, terkesan sederhana, lantainya hanya dengan semen biasa, ku pandangi sekeliling ruang, sebuah ruang lepas berukuran 4 x 5 meter, ada papan pengumuman, ada 4 buah kamar yang saling berhadapan.  Kedatangan kami sepertinya sudah ditunggu, karna saat kami tiba, sudah berkumpul beberapa orang penghuni wisma. Mereka menyambut kami dengan penuh akrab, berbaur dalam kekeluargaan, suasana yang tidak asing lagi bagiku karna saat masih SMA, selalu ku sempatkan datang ke wisma Faterna jikalau ke Padang , sebuah wisma milik mahasiswa Peternakan,dan di sanalah tempat tinggal mentorku saat SMA.
            “Dek, selamat datang di wisma Tarbawi, abang – abang di sini dari berbagai angkatan dan asal daerah. Silahkan nanti berkenalan. Di sini tidak bisa bebas seperti di kontrakan, kita memiliki aturan dan program. Jika sholat mesti ke mesjid, tiap pagi kita ada taklim, tiap senin – kamis puasa sunnah bareng – bareng. Adik – adik bisa numpang di sini selama 1 minggu, jika merasa kurang cocok, kami akan bantu carikan tempat tinggal.. Oh ya, jika adik butuh buku – buku bisa dipinjam punya abang – abang..”, ujar bang Aulia menjelaskan sangat rinci seperti seorang salesman menawarkan barang dagangannya..
            “Afwan Bang, mau bertanya, tapi jawab jujur ya ?”, kata ku serius..
            “Ya, ada apa ?”
            “Apa benar ini wisma ikhwah ? mentor saya bilang wisma ikhwah di sini bernama wisma Ababil..”, tanyaku
            “hahahaha.., iya Dek, ini wisma ikhwah, lihat itu..”, jawab bang Aulia sambil menunjuk ke pintu kamarnya, dan yang lain spontan tertawa..
***
Lima tahun kemudian
            Kawan, mengingat kembali kisahku lima tahun yang lalu. Dan kini, posisiku telah menggantikan bang Aulia, kini ia telah berpraktek dokter di Duri . Masih di kamar yang sama, dulu ia yang menemaniku, sedangkan kini aku telah menggantikan posisinya sebagai santri senior di wisma..          
            “Assalamu’alaikum, sendirian aja Dek, masih panas?”, ujarku menyapa Akbar sambil mengganti pakaian dinasku. Akbar, mahasiswa tingkat dua yang sejak kemaren mengalami panas tinggi..
            “Ya bang, yang lain masih di kampus, udah agak mendingan, terakhir 38 0C udah mendingan dari kemaren..”..
            “Udah makan Dik ? Abang suapi ya..”, tawarku..
            “Belum bang, tadi nitip makanan tapi Ari belum juga pulang..”, jawabnya
            Usai berganti pakaian, ku siapkan nasi buat Akbar, kebetulan ada sambal yang sempat ku beli di warung sebelum pulang. Ku suapi ia sambil menceritakan kejadian yang ku alami hari ini di rumah sakit, maklum saja aku juga sedang menjalani pendidikan klinik di bagian Obstetri - Gynekologi RSUP Dr.M.Djamil Padang. Beginilah kami memaknai arti ukhuwah di wisma, seperti Akbar yang sudah serasa adik kandung ku sendiri.
***
Padang, 28 Januari 2011
            Kawan, sore ini hujan masih hengkang dari kota Padang, cuaca tak bersahabat untuk melangkahkan kaki menuju mesjid Al-Hidayah, satu – satu nya mesjid komplek.  Di sebuah ruang,  enam orang santri menggelar sajadah di ruang tengah untuk Maghrib berjamaah. Wisma Al-Quds, disinilah aku berada. Rumah dengan tiga kamar, tidak terlalu besar, cukuplah rasanya untuk ditempati enam orang, tak berapa jauh dari Wisma Tarbawi , namun lebih dekat dengan pagar kampus. Kemudian teruslah berjalan,  jika bertemu pertigaan, ikuti petunjuk jalan, jelas tertera jalan Mandailing, sekitar 500 meter darinya kita akan temukan wisma Ibnu Sina. Jika kawan tak hendak pulang, maka bermalam lah di sini, setidaknya untuk mendapatkan kehangatan ukhuwah di dalamnya..
            Kawan, mungkin sedikit berbagi cerita, sudah sejak lama orang tua ku menyarankan agar keluar wisma, memilih kontrakan saja. Mereka amat khawatir jikalau aku terperangkap dengan ajaran sesat seperti berita yang hangat dibicarakan. Dengan penuh yakin, ku berikan penjelasan..
            Kawan, engkau mungkin mengira hidup kami tanpa masalah, kami juga mahasiswa seperti mahasiswa lainnya, lahir dari rahim yang berbeda, rambut sama hitamnya tapi beda pemikiran, kami pernah salah, pernah bertengkar, pernah jengkel, pernah juga futur dalam beribadah seperti yang lain.. Tetapi di antara kami, masih ada yang sabar mengingatkan, ada yang mengalah, ada yang menyeimbangkan suasana sehingga saat kau datang ke sini, terasa amat menyejukkan..
            Kawan, jikalau nanti adik mu lulus di kedokteran, tawarkan saja bersama kami. Yakinlah, keluarga mu tak perlu terlalu khawatir, kami akan menjaganya seperti adik sendiri. Seperti yang kau lihat, aku menemukan abang,, mendapatkan adik di sini.
            Saat suara azan mendayu membangunkan pagi, saat – saat itu kami melangkah bersama ke mesjid sambil bercengkrama. Saat menunggu terbitnya mentari, saat – saat kami membentuk lingkaran keimanan dengan agenda harian. Saat senin dan kamis hadir menyapa, saat - saat menikmati kebersamaan dalam santap sahur dan berbuka. Saat malam minggu memanggi, saat – saat kami menghabiskan malam dengan mabit di mesjid kampus. Saat ada waktu luang, saat – saat itulah kami agendakan untuk rihlah, jogging ke pantai, dan sesekali membersihkan rumah kami. Saat kau kembali ke kampus mu, berceritalah tentang apa yang kau lihat di sini, meskipun banyak yang harus dibenahi tapi kami telah memulai cerita..dari sini..dari balik dinding pesantren..

*Tulisan karya dr. Poby Karmendra ini terangkum dalam antalogi kisah nyata inspiratif  "Jalan Menuju Dokter Muslim" yang diterbitkan oleh Indie Pro Publishing pada awal 2012 dan telah masuk pada cetakan ke II.

Cerpen Kedokteran : Dokter "Bujang"


Teringat waktu masa kecil dulu, di sekolah, di rumah, di sekolah tempat orang tua ku mengajar, dimana saja, jika ada yang nanya : “kalo udah besar mau jadi apa?”. So pasti dengan mantap tanpa ragu  akan ku jawab dengan senyum sumringah : “Jadi doktel”, pas udah gede dikit, disaat gak cadel lagi : “jadi dokter !”.
            Di sekolah, buat menghangatkan suasana, biasanya guru TK dan SD kelas I suka melontarkan pertanyaan yang hampir sama : “Anak-anak, siapa yang mau jadi dokteeeerrrrr??”. Trus dengan polos, dengan sedikit bloon tapi penuh semangat, hampir seluruh isi kelas akan menjawab : “saya buk.. saya buk.. saya buk…” tentu saja dengan ngangkat tangan tinggi-tinggi, berlomba siapa yang lebih tinggi mengacungkan tangan (serius, sampe ada yang pengen manjat meja, biar acungan tangannya paling tinggi), seolah-olah siapa yang acungan tangannya paling tinggi, dialah yang paling berhak jadi dokter.. ^^
            Waktu zaman co-ass dulu, ingin rasanya kembali ke masa lalu, kalau bisa kembali ke masa  kecil dulu, saat ibu guru bertanya di depan kelas. Kalau beliau nanya lagi :”anak-anak, siapa yang mau jadi dokteeeerrr??”. Mungkin aku akan langsung teriak histeris dan ngumpet ke bawah meja, sambil berteriak : “saya gak mau jadi dokter buk, saya gak mau.. saya mau pilih jurusan lain saja buk !! Plizz buk, jangan paksa saya.. (terlalu lebay..)
 Kenapa aku pengen jadi dokter ?  Dulu banget, waktu aku masih sangat kecil, nenek sering  bercerita betapa gagahnya kalau bisa jadi seorang dokter dan berharap salah satu cucunya bisa jadi dokter, orang tua pun sering bercerita kalo menjadi dokter itu adalah pekerjaan yang mulia dan bisa dapat banyak pahala. Entah kenapa kata mulia dan pahala bagi ku adalah kata yang terasa wah waktu itu, padahal tidaklah terlalu paham. Seperti didoktrin kalau dokter adalah sosok yang luar biasa dan keinginan untuk membuat keluarga bangga, akhirnya aku pun membulatkan tekad berjuang untuk menjadi dokter. Terlebih harga jual dokter di kampung kami amat lah tinggi, sebuah kebiasaan adat bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin mahal harganya saat hendak menikah nanti, dan itu hanya berlaku pada kaum laki – laki saja.. (beruntungnya jika aku jadi dokter, pikiran di masa lalu..)
Beranjak dari menempuh pendidikan di SMA, cita-cita ku masih belum berubah, tapi bedanya sekarang ditambah dengan ego. Ego untuk membuktikan pada semua orang bahwa aku pintar. Mungkin inilah kebodohan ku selanjutnya. Dan skenario Allah pun sama dengan keinginan ku, lulus sebagai mahasiswa undangan di jurusan pendidikan dokter sebuah Universitas ternama di pulau Jawa. Entah kenapa kata "mahasiswa undangan" di kampung ku, benar - benar kata yang menakjubkan..
***

            Tak sabar rasanya untuk pulang dan menemui  Emak, maklumlah sekolah ku berada di luar daerah, sekitar 3 jam dari kampung. Emaklah yang sangat berharap aku menjadi dokter, saat di atas gendongannya, ia selalu menidurkanku dengan nyanyian yang baitnya dikarang sendiri untukku, kata ni Yan pengasuhku, baitnya berisi harapan agar anak semata wayangnya kelak menjadi dokter. Oh ya, setelah turun mandi, Abak memberikan nama Reza Pahlevi, tapi sapaan Bujang tetap saja melekat sampai saat ini. Bujang, sapaan bagi laki-laki di kampung kami.
Bujang duduk memandangi halaman rumah dari balik jendela. Pandangannya bercahaya memandang ujung jalan, tak sabar menunggu kepulangan Abak dan Emak. Sudah lama ia mengidam-idamkan untuk bisa kuliah di Fakultas Kedokteran, bercita-cita ingin menjadi seorang dokter seperti cerita nenek dan Emak sewaktu kecil. Ia ingin setelah jadi dokter nanti bisa mengabdikan di kampung. Masih menunggu kedatangan Abak dan Emak yang berkunjung ke rumah saudara, menggenggam amplop yang berisikan surat undangan untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran ternama di negeri ini.
Kini, ia tak sabar melihat ekspresi kedua orang tuanya, anak lelaki semata wayang mereka akan siap menjadi orang. Siapa yang tak senang mendengar anaknya  menjadi lebih baik, namun di kampung kami gelar dokter amatlah bernilai tinggi. Bukan hanya disegani, tapi bernilai jual saat akan dinikahkan. Emak saja dulu membeli Abak dengan sepeda motor karna Abak bertugas sebagai pegawai negeri. Bayangkan saja jika seorang dokter akan dinikahkan, uang hilang yang harus dikeluarkan calon istrinya bisa seharga mobil merek terkenal di negeri ini.
            Dari kejauhan suara motor Abak terdengar jelas, dan aku bergegas menuju teras.
“Bujang..sudah lama Nak ?”, ujar Emak
“Setengah jam yang lalu Mak..!, jawabku sambil menyerahkan amplop coklat yang sejak tadi ku genggam..
Emak membukanya dengan tenang, sambil tersenyum melihat Abak, “Alhamdulillah ya Nak, Emak sudah yakin engkau akan diterima, sebenarnya seminggu yang lalu, Abak dan Emak sudah tahu dari Pak Yulson, tapi sengaja kami diamkan saja biar engkau sendiri yang membuka amplopnya..”
“ya Mak, tapi uang masuknya cukup besar..”, tegas ku..
“Aman tu Jang, Abak telah menabung sejak lama untuk kuliah mu..”, jawaban Abak melegakan ku..
“Kapan engkau akan pergi Nak ?, mungkin hanya Abak yang bisa mengantar mu karna Emak mesti ikut pelatihan minggu depan di dinas propinsi..”, ujar Emak, jelas di wajahnya ada kesedihan karena tidak bisa mengantarkan ku ke tanah Jawa.
“Daftar ulangnya tanggal sembilan Mak, jadi tiga hari lagi kita mesti berangkat”, jawabku..
Sambil melangkah ke dalam, Abak berkata pada Emak, “Pit, kapan engkau bisa memasak? Kita bado’a sebelum kami pergi..”.
“hari Senin lah Da, biar Minggu Pit ke pasar dulu. Nanti kau temani Mak ya Nak”, ia melirikku..
“Ya Mak”
“Sekarang kau tidurlah dulu, nanti malam kita ke rumah Pak Etek mu”..
Aku pun mengangguk, tanda mengiyakan perintah Emak..
***

Suara adzan Subuh terdengar syahdu dari mesjid kampung. Suara yang terdengar keras dari corong loudspeaker  seakan memantul di barisan bukit-bukit yang berjejer rapi, lalu terbang ke angkasa memenuhi langit kampung ku dengan kedamaian dan ketenteraman. Seperti biasa, aku dan Abak tak ingin ketinggalan shalat berjama’ah, walau siang sibuk mencari penghidupan, di malam dan Subuhnya jadi waktu yang tepat untuk berkumpul dengan penduduk lainnya. Tiba – tiba ada tangan yang menepuk pundak ku..
“eh Angku..”, sapaku sambil mencium tangannya, Angku Rajo Lelo seorang pemangku adat di kampung kami yang sangat disegani.
“Angku dengar, engkau mau jadi orang, setiap sudut kampung membicarakan engkau. Lulus dimana kuliah mu Jang ? Apa jurusan yang engkau pelajari di Jakarta nanti ?”, tanya Angku..
“Alhamdulillah lulus di Pendidikan Dokter, insyaAllah nanti siang Ujang berangkat ke Jakarta bersama Abak, mungkin sekarang Ujang sekalian pamit Ngku”, jawab ku pada Angku dengan nada sedikit keras, maklumlah pendengaran Angku sudah berkurang, sepantasnya juga saat usia beliau yang sudah masuk kepala tujuh.
“Pendidikan dokter ? ada ya sekolah untuk jadi dosen? Mau seperti Abak mu juga? Kenapa engkau tak sekolah dokter umum saja?”, ia menghujani ku dengan pertanyaan..
“Iya Angku, jurusannya Pendidikan dokter, nanti tamatnya jadi dokter umum, beda sama IKIP yang di Padang”, berharap penjelasan ku bisa dimengerti olehnya..
“Baguslah, jangan kau lupakan kampung ini, hati – hati di Jakarta, siapa pula gadis di kampung ini yang bisa membeli engkau nanti ya Jang, akan lepas ke daerah lain pula engkau tampaknya. Lihatlah si Fuad, setelah ia jadi dokter, hanya sesekali ia pulang ke sini, itupun tak pernah ia berkumpul lagi di lapau kopi, mungkin merasa malu karena terjual murah..”, untuk sekian kalinya aku mendengar komentar yang sama..
“Ya Angku, terima kasih, mohon do’anya juga”, ucapku sambil manggut – manggut mengiyakan petuahnya..

Tak lama berselang, matahari merambat naik di ufuk timur. Perlahan siang mulai membentangkan cahayanya. Semua binatang telah memulai aktivitasnya, kecuali kelelawar, binatang ini baru saja masuk dalam tidurnya setelah semalaman terbang melayang-layang dengan suara yang membikin gaduh. Suasana kampung mulai hidup kembali. Berarti tidak cukup dua jam lagi, aku akan meninggalkan kampung, berat juga rasanya..
Dengan meminjam mobil Mayang Taurai, seorang kaya di kampung kami, aku dan Abak diantar ke bandara Tabing.  Memulai hidup di negeri orang, belumlah pantas rasanya disebut pemuda Minang, jikalau belum merantau, karna merantau telah jadi suatu keharusan bagi pemuda di sini, “Marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun” ..
Menuju Jakarta, tentulah membuatku canggung seorang diri di negeri orang. Menjadi anak kost adalah perjuangan, harus menunggu waktu libur yang cukup untuk pulang. Menjadi anak kost adalah perjuangan, tapi kuliah di jurusan Pendidikan Dokter bukanlah sebuah kebetulan bagi ku. Hanya sebuah kekhawatiran yang menyelimuti ku, banyak aku mendengar tentang kesehatan, termasuk rokok yang sudah bertahun aku hirup asapnya dari Abak di rumah. Aku harus mampu untuk mengumpulkan ilmu, kekuatan, dan niat untuk meminta Abak untuk berhenti merokok, mengingat usia orang yang kucinta itu sudah lima puluh, dan kini ia tertidup lelap di samping ku. Suatu ketika, waktu libur dan pulang ke rumah nanti adalah waktu ku untuk “mempengaruhi” Abak agar segera berhenti merokok. Sangat mulia rencana ku, sedang kini aku baru akan memulai langkah.
***
Enam tahun kemudian..
            Tidak terasa enam tahun sudah aku di Jakarta, walau setiap jelang lebaran selalu pulang basamo ke Padang. Ada banyak kenangan yang terukir di kota ini, terlebih di saat menjalani empat belas stase kepaniteraan klinik selama 2 tahun di RSCM, menghadirkan beragam kisah yang layak untuk diceritakan, nikmat untuk dikenang, tidak untuk diulang. Kota inilah yang memperkenalkan ku dengan tarbiyah, menjalani kesibukan di forum studi islam, dan mempertemukan ku dengan sosok wanita yang ku harap bisa diterima oleh keluarga di kampung.
            Saatnya hari ini kembali ke Padang, menaiki pesawat pagi. Seusai subuh, ketika jalan ibukota masih sedikit sepi, bergegas menuju bandara. Tak sabar rasanya bertemu sanak saudara di kampung, kepulangan ku terakhir 2 tahun lalu sebelum menjalani pendidikan klinik di rumah sakit.
            Terdengar suara pramugari meminta penumpang memasang sabuk pengaman karena sebentar lagi kami akan landing di Bandara International Minangkabau, bandara yang resmi dioperasikan 3 bulan yang lalu. Kemegahannya sudah sangat jelas dari udara, gonjong seperti tanduk kerbau membuatnya terlihat kokoh.
Aku menghela nafas panjang. Lima menit hanya berdiri, terdiam di sini. Di gerbang kepulangan BIM sambil mencari – cari Emak dan Abak.
“Dokter Reza, dokter..”, teriak suara dari kerumunan orang yang sedang menunggu kedatangan anggota keluarganya. Ku lihat ada yang melambaikan tangan. Ku dekati Emak, Abak, Angku Rajo Lelo, dan Tek Pidah. Ku ciumi tangan mereka satu persatu.
“Sudah jadi dokter kau sekarang ya Jang, biar Angku bilang ke orang kampung, kalau engkau tidak boleh dipanggil Bujang lagi, tapi dokter Reza..” sambil menepuk pundak ku..
“Ya Ngku, kalau di kampung, di sapa Bujang mungkin lebih nyaman, Ujang tidak akan berubah, tetap Ujang yang dulu..”, jelasku sambil tersenyum kepada Emak dan Abak.
“Ayo Nak, kita pulang, segan kita dengan Bang Mandah sudah lama nunggu di mobil, tadi kami berangkat dengan mobilnya Mayang Taurai”, ujar Emak sambil mengangkat kardus ditanganku..
“Ya Mak, biar Ujang sendiri yang bawa..”, cegah ku pada Emak.
“Tak apalah Nak, engkau pastilah capek”, kata Abak seraya mengambil koperku.
            Perjalanan ke kampung kami sekitar 1,5 jam dari bandara. Bagi para pelancong, kampung kami “ajaib”, tidak kalah indah dari Bali. Di luar sana hujan mulai turun, ku naikkan kaca mobil. Tidak terlalu banyak perubahan, semua masih pada posisinya masing – masing. Pasangan berteduh karna tidak membawa mantel. Kesibukan masih terlihat di toko yang berdiri sepanjang jalan. Warung – warung tenda makanan masih buka. Hanya jalanan di depan yang terus berganti formasi. Mobil mulai merayap dengan kipas air kaca depan yag terus berderit. Kiri – kanan. Kanan kiri. Membuang bulir air yang tak pernah berhenti menimpa kaca.
            Mobil beringsut seperti keong, ketika bertemu dengan kemacetan perempatan, jalan berlobang atau beberapa tempat yang digenang banjir. Sebuah kijang bergambarkan lambang sebuah maskapai penerbangan lewat. Mungkin mobil antar jemput untuk pilot dan pramugari maskapai itu.
            Ketika mobil mulai masuk di kota Pariaman, hujan mulai reda. Ku lihat betapa gagah tugu Tabuik menyambut kami. Tabuik dirayakan di sepuluh awal Muharram, sebuah patung berbentuk wanita cantik sedang menaiki kuda bersayap, setelah di arak keliling kota, tabuik akan dibuang ke laut tepat di depan pantai gandoriah. Tabuik telah menjadi ikon kota Sala Lauak ini, ribuan pengunjung memadati kota tiap 10 Muharram.
            Tak berapa lama dari pusat kota, tak berapa jauh dari pasar Sungai Limau, mobil memutar ke kiri, menuruni kelokan tajam. Melaju perlahan. Melewati perkebunan kelapa yang tumbuh subur. Udara terasa lembab, ada bekas hujan yang turun tadi siang. Hanya menyisakan rintik air yang jatuh dari nyiur kelapa sepanjang jalan. Menyisakan titik air yang menggumpal di ujung paying yang masih terkembang namun enggan bergulir. Menyisakan titik air di sudut ku. Mata ku tanpa kusadari basah. Akhirnya sampai juga di rumah, tak ada banyak perubahan. Di sini seorang dokter dibesarkan, akhirnya sungguh membuncahkan seluruh perasaan dan kenangan.
***

“Sudahlah, Anakku,” suara Emak menyadarkan Bujang dari lamunan bercampur kemurungan. Wanita itu memegang pundak anaknya dari belakang. Ia lantas duduk di sampingnya.

“Bujang belum bisa menerima keputusan Abak”,  Bujang mengangkat mukanya. Ia memandang lekat wanita bersarung dan berbaju lengan panjang yang duduk di sampingnya itu. Bujang seakan minta dukungan.
“Iya, Bujang. Emak bisa memahami perasaanmu. Emak sangat mendukung pemikiranmu.. Tapi...”, wanita itu menggantung kalimatnya. Ia menghirup udara dalam - dalam lalu menghempaskannya lagi seraya melemparkan pandangannya ke ruang tengah, tempat Abak yang sedang menonton siaran berita.
“Emak tidak bisa menyalahkan Abakmu juga. Kamu kan tahu adat di kampung kita. Dulu Abak mu juga dibeli oleh Kakek mu, PNS saat itu telah dihargai dengan satu motor. Kalau kamu masih ngotot untuk tidak dibeli, jangan harap Abak akan datang di pernikahan mu Nak, ia bilang sangat malu jika anaknya yang terpandang dilepas tanpa harga. Apa lagi engkau seorang dokter.
Bujang kembali terdiam. Dokter berambut hitam tebal itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba untuk mencerna dan menerima setiap kalimat yang dilontarkan oleh Emaknya barusan. Cukup lama. Tapi ia tetap tidak setuju. Ia memandangi Abak yang hanya diam dan tidak mau berkomentar.
“Apa kata orang kampung Nak. Sudah banyak yang datang dan kami pun tidak bisa menerima,  Amak tahu sosok wanita yang engkau idamkan, dan Abak tidak masalah, hanya saja Abak ingin engkau dihargai dengan adat kita. Kau masih ingat dokter Fuad ? Anaknya pak Wali, ia sama seperti mu, akhirnya tidak ada perhelatan, dan sejak itu Fuad jarang pulang kampung. Mungkin karena malu tak menjalankan adat..”, Emak diam sejenak.
“Engkau pikirkan lah dulu semalam ini. Mana yang terbaik menurutmu. Besok engkau mesti memenuhi undangan Kepala Dinas kan..”, tutup Emak.
Tiba-tiba ia merasakan Magribnya menjadi lain dari hari-hari biasa. Ada hawa kepanikan yang berkecamuk menyusup masuk ke dalam kalbunya, dokter Reza Pahlevi alias dokter bujang..
***
Kepada : Abak tercinta
Assalamu’alaikum.ww.wb.
Abak, sebelumnya Ananda minta maaf atas kejadian kemaren, Ananda tidak ingin dicap sebagai anak durhaka. Tapi untuk hal ini, Ananda tidak bisa memenuhi kehendak Abak. Ananda mengerti maksud baik Abak dan Emak, tidak ingin merendahkan martabat keluarga kita, terlebih karena Abak juga sudah diangkat sebagai Datuk.
Terima kasih telah membesarkan Ananda dengan kasih sayang, smoga gelar dokter yang Ananda raih bisa menjadi kebanggaan Abak dan Emak. Inilah buah didikan keras Abak waktu kecil, dan Ananda pun tidak ingin memiliki sekat dengan orang lain khususnya warga kampung kita. Ananda lebih senang disapa Bujang dibanding dokter Reza.
Abak, biarlah orang memandang lain, Ananda sudah memiliki orang yang tepat untuk jadi bagian keluarga kita. Ia sholehah, dan sesuai dengan keinginan Ananda. Berikut Ananda sertakan biodata lengkap dan foto beliau. Kalau dilihat dari ekonomi, ia berasal dari keluarga sederhana, orang tuanya petani. Jika memang aturan Adat harus dipaksakan, tidak akan mungkin keluarganya sanggup membeli Ananda apalagi mesti seharga mobil merek terkenal. Tentu sangat mahal..
Abak, bukankah Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Khitabullah. Cukuplah Islam yang menemani perjalanan Ananda ke jenjang pernikahan, dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Semoga Abak dan Emak mengerti maksud Ananda. Sengaja Ananda menulis surat ini, jika bersua Abak dan Emak, agak sulit Ananda menjelaskannya. Wassalam.
                                                                                                  Sembah Sujud Ananda
                                                                                                 Dr. Reza Pahlevi / Bujang
“Mak, Bujang pamit ke kantor Wali, Abak mana ?”, kucium tangan Emak..
“Abak mu sudah berangkat dari tadi pagi, saat engkau di kamar mandi. Ia ada perlu dengan Pak Bustami, yang jadi kepala sekarang di sekolah Abakmu”, jawab Emak..
“Mak, saya titip buat Abak ya..”, seraya ku serahkan amplop berisi biodata ukhti Dilla, lengkap dengan foto dan surat yang ku tulis tadi malam. Nurul Fadhillah, akhwat tamatan ITB yang kini jadi dosen di Kota Padang. Sudah 3 bulan aku mengenalnya, lewat guru mengaji, tepat sebulan menjelang aku wisuda dokter.
“Apa ini Nak ?”
“Surat cinta Ananda, juga ada sosok calon menantu buat Emak”, jawabku beranjak pergi sambil melepas senyum ke arah Emak..

*cerpen karya dr. Poby Karmendra ini terangkum dalam antalogi cerpen Dokter "Bujang" yang diterbitkan oleh Asy-Syifa Jogjakarta pada November 2011 dan telah masuk pada cetakan ke II.