Kamis, 27 September 2012

Cerpen Kedokteran : Dokter "Bujang"


Teringat waktu masa kecil dulu, di sekolah, di rumah, di sekolah tempat orang tua ku mengajar, dimana saja, jika ada yang nanya : “kalo udah besar mau jadi apa?”. So pasti dengan mantap tanpa ragu  akan ku jawab dengan senyum sumringah : “Jadi doktel”, pas udah gede dikit, disaat gak cadel lagi : “jadi dokter !”.
            Di sekolah, buat menghangatkan suasana, biasanya guru TK dan SD kelas I suka melontarkan pertanyaan yang hampir sama : “Anak-anak, siapa yang mau jadi dokteeeerrrrr??”. Trus dengan polos, dengan sedikit bloon tapi penuh semangat, hampir seluruh isi kelas akan menjawab : “saya buk.. saya buk.. saya buk…” tentu saja dengan ngangkat tangan tinggi-tinggi, berlomba siapa yang lebih tinggi mengacungkan tangan (serius, sampe ada yang pengen manjat meja, biar acungan tangannya paling tinggi), seolah-olah siapa yang acungan tangannya paling tinggi, dialah yang paling berhak jadi dokter.. ^^
            Waktu zaman co-ass dulu, ingin rasanya kembali ke masa lalu, kalau bisa kembali ke masa  kecil dulu, saat ibu guru bertanya di depan kelas. Kalau beliau nanya lagi :”anak-anak, siapa yang mau jadi dokteeeerrr??”. Mungkin aku akan langsung teriak histeris dan ngumpet ke bawah meja, sambil berteriak : “saya gak mau jadi dokter buk, saya gak mau.. saya mau pilih jurusan lain saja buk !! Plizz buk, jangan paksa saya.. (terlalu lebay..)
 Kenapa aku pengen jadi dokter ?  Dulu banget, waktu aku masih sangat kecil, nenek sering  bercerita betapa gagahnya kalau bisa jadi seorang dokter dan berharap salah satu cucunya bisa jadi dokter, orang tua pun sering bercerita kalo menjadi dokter itu adalah pekerjaan yang mulia dan bisa dapat banyak pahala. Entah kenapa kata mulia dan pahala bagi ku adalah kata yang terasa wah waktu itu, padahal tidaklah terlalu paham. Seperti didoktrin kalau dokter adalah sosok yang luar biasa dan keinginan untuk membuat keluarga bangga, akhirnya aku pun membulatkan tekad berjuang untuk menjadi dokter. Terlebih harga jual dokter di kampung kami amat lah tinggi, sebuah kebiasaan adat bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin mahal harganya saat hendak menikah nanti, dan itu hanya berlaku pada kaum laki – laki saja.. (beruntungnya jika aku jadi dokter, pikiran di masa lalu..)
Beranjak dari menempuh pendidikan di SMA, cita-cita ku masih belum berubah, tapi bedanya sekarang ditambah dengan ego. Ego untuk membuktikan pada semua orang bahwa aku pintar. Mungkin inilah kebodohan ku selanjutnya. Dan skenario Allah pun sama dengan keinginan ku, lulus sebagai mahasiswa undangan di jurusan pendidikan dokter sebuah Universitas ternama di pulau Jawa. Entah kenapa kata "mahasiswa undangan" di kampung ku, benar - benar kata yang menakjubkan..
***

            Tak sabar rasanya untuk pulang dan menemui  Emak, maklumlah sekolah ku berada di luar daerah, sekitar 3 jam dari kampung. Emaklah yang sangat berharap aku menjadi dokter, saat di atas gendongannya, ia selalu menidurkanku dengan nyanyian yang baitnya dikarang sendiri untukku, kata ni Yan pengasuhku, baitnya berisi harapan agar anak semata wayangnya kelak menjadi dokter. Oh ya, setelah turun mandi, Abak memberikan nama Reza Pahlevi, tapi sapaan Bujang tetap saja melekat sampai saat ini. Bujang, sapaan bagi laki-laki di kampung kami.
Bujang duduk memandangi halaman rumah dari balik jendela. Pandangannya bercahaya memandang ujung jalan, tak sabar menunggu kepulangan Abak dan Emak. Sudah lama ia mengidam-idamkan untuk bisa kuliah di Fakultas Kedokteran, bercita-cita ingin menjadi seorang dokter seperti cerita nenek dan Emak sewaktu kecil. Ia ingin setelah jadi dokter nanti bisa mengabdikan di kampung. Masih menunggu kedatangan Abak dan Emak yang berkunjung ke rumah saudara, menggenggam amplop yang berisikan surat undangan untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran ternama di negeri ini.
Kini, ia tak sabar melihat ekspresi kedua orang tuanya, anak lelaki semata wayang mereka akan siap menjadi orang. Siapa yang tak senang mendengar anaknya  menjadi lebih baik, namun di kampung kami gelar dokter amatlah bernilai tinggi. Bukan hanya disegani, tapi bernilai jual saat akan dinikahkan. Emak saja dulu membeli Abak dengan sepeda motor karna Abak bertugas sebagai pegawai negeri. Bayangkan saja jika seorang dokter akan dinikahkan, uang hilang yang harus dikeluarkan calon istrinya bisa seharga mobil merek terkenal di negeri ini.
            Dari kejauhan suara motor Abak terdengar jelas, dan aku bergegas menuju teras.
“Bujang..sudah lama Nak ?”, ujar Emak
“Setengah jam yang lalu Mak..!, jawabku sambil menyerahkan amplop coklat yang sejak tadi ku genggam..
Emak membukanya dengan tenang, sambil tersenyum melihat Abak, “Alhamdulillah ya Nak, Emak sudah yakin engkau akan diterima, sebenarnya seminggu yang lalu, Abak dan Emak sudah tahu dari Pak Yulson, tapi sengaja kami diamkan saja biar engkau sendiri yang membuka amplopnya..”
“ya Mak, tapi uang masuknya cukup besar..”, tegas ku..
“Aman tu Jang, Abak telah menabung sejak lama untuk kuliah mu..”, jawaban Abak melegakan ku..
“Kapan engkau akan pergi Nak ?, mungkin hanya Abak yang bisa mengantar mu karna Emak mesti ikut pelatihan minggu depan di dinas propinsi..”, ujar Emak, jelas di wajahnya ada kesedihan karena tidak bisa mengantarkan ku ke tanah Jawa.
“Daftar ulangnya tanggal sembilan Mak, jadi tiga hari lagi kita mesti berangkat”, jawabku..
Sambil melangkah ke dalam, Abak berkata pada Emak, “Pit, kapan engkau bisa memasak? Kita bado’a sebelum kami pergi..”.
“hari Senin lah Da, biar Minggu Pit ke pasar dulu. Nanti kau temani Mak ya Nak”, ia melirikku..
“Ya Mak”
“Sekarang kau tidurlah dulu, nanti malam kita ke rumah Pak Etek mu”..
Aku pun mengangguk, tanda mengiyakan perintah Emak..
***

Suara adzan Subuh terdengar syahdu dari mesjid kampung. Suara yang terdengar keras dari corong loudspeaker  seakan memantul di barisan bukit-bukit yang berjejer rapi, lalu terbang ke angkasa memenuhi langit kampung ku dengan kedamaian dan ketenteraman. Seperti biasa, aku dan Abak tak ingin ketinggalan shalat berjama’ah, walau siang sibuk mencari penghidupan, di malam dan Subuhnya jadi waktu yang tepat untuk berkumpul dengan penduduk lainnya. Tiba – tiba ada tangan yang menepuk pundak ku..
“eh Angku..”, sapaku sambil mencium tangannya, Angku Rajo Lelo seorang pemangku adat di kampung kami yang sangat disegani.
“Angku dengar, engkau mau jadi orang, setiap sudut kampung membicarakan engkau. Lulus dimana kuliah mu Jang ? Apa jurusan yang engkau pelajari di Jakarta nanti ?”, tanya Angku..
“Alhamdulillah lulus di Pendidikan Dokter, insyaAllah nanti siang Ujang berangkat ke Jakarta bersama Abak, mungkin sekarang Ujang sekalian pamit Ngku”, jawab ku pada Angku dengan nada sedikit keras, maklumlah pendengaran Angku sudah berkurang, sepantasnya juga saat usia beliau yang sudah masuk kepala tujuh.
“Pendidikan dokter ? ada ya sekolah untuk jadi dosen? Mau seperti Abak mu juga? Kenapa engkau tak sekolah dokter umum saja?”, ia menghujani ku dengan pertanyaan..
“Iya Angku, jurusannya Pendidikan dokter, nanti tamatnya jadi dokter umum, beda sama IKIP yang di Padang”, berharap penjelasan ku bisa dimengerti olehnya..
“Baguslah, jangan kau lupakan kampung ini, hati – hati di Jakarta, siapa pula gadis di kampung ini yang bisa membeli engkau nanti ya Jang, akan lepas ke daerah lain pula engkau tampaknya. Lihatlah si Fuad, setelah ia jadi dokter, hanya sesekali ia pulang ke sini, itupun tak pernah ia berkumpul lagi di lapau kopi, mungkin merasa malu karena terjual murah..”, untuk sekian kalinya aku mendengar komentar yang sama..
“Ya Angku, terima kasih, mohon do’anya juga”, ucapku sambil manggut – manggut mengiyakan petuahnya..

Tak lama berselang, matahari merambat naik di ufuk timur. Perlahan siang mulai membentangkan cahayanya. Semua binatang telah memulai aktivitasnya, kecuali kelelawar, binatang ini baru saja masuk dalam tidurnya setelah semalaman terbang melayang-layang dengan suara yang membikin gaduh. Suasana kampung mulai hidup kembali. Berarti tidak cukup dua jam lagi, aku akan meninggalkan kampung, berat juga rasanya..
Dengan meminjam mobil Mayang Taurai, seorang kaya di kampung kami, aku dan Abak diantar ke bandara Tabing.  Memulai hidup di negeri orang, belumlah pantas rasanya disebut pemuda Minang, jikalau belum merantau, karna merantau telah jadi suatu keharusan bagi pemuda di sini, “Marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun” ..
Menuju Jakarta, tentulah membuatku canggung seorang diri di negeri orang. Menjadi anak kost adalah perjuangan, harus menunggu waktu libur yang cukup untuk pulang. Menjadi anak kost adalah perjuangan, tapi kuliah di jurusan Pendidikan Dokter bukanlah sebuah kebetulan bagi ku. Hanya sebuah kekhawatiran yang menyelimuti ku, banyak aku mendengar tentang kesehatan, termasuk rokok yang sudah bertahun aku hirup asapnya dari Abak di rumah. Aku harus mampu untuk mengumpulkan ilmu, kekuatan, dan niat untuk meminta Abak untuk berhenti merokok, mengingat usia orang yang kucinta itu sudah lima puluh, dan kini ia tertidup lelap di samping ku. Suatu ketika, waktu libur dan pulang ke rumah nanti adalah waktu ku untuk “mempengaruhi” Abak agar segera berhenti merokok. Sangat mulia rencana ku, sedang kini aku baru akan memulai langkah.
***
Enam tahun kemudian..
            Tidak terasa enam tahun sudah aku di Jakarta, walau setiap jelang lebaran selalu pulang basamo ke Padang. Ada banyak kenangan yang terukir di kota ini, terlebih di saat menjalani empat belas stase kepaniteraan klinik selama 2 tahun di RSCM, menghadirkan beragam kisah yang layak untuk diceritakan, nikmat untuk dikenang, tidak untuk diulang. Kota inilah yang memperkenalkan ku dengan tarbiyah, menjalani kesibukan di forum studi islam, dan mempertemukan ku dengan sosok wanita yang ku harap bisa diterima oleh keluarga di kampung.
            Saatnya hari ini kembali ke Padang, menaiki pesawat pagi. Seusai subuh, ketika jalan ibukota masih sedikit sepi, bergegas menuju bandara. Tak sabar rasanya bertemu sanak saudara di kampung, kepulangan ku terakhir 2 tahun lalu sebelum menjalani pendidikan klinik di rumah sakit.
            Terdengar suara pramugari meminta penumpang memasang sabuk pengaman karena sebentar lagi kami akan landing di Bandara International Minangkabau, bandara yang resmi dioperasikan 3 bulan yang lalu. Kemegahannya sudah sangat jelas dari udara, gonjong seperti tanduk kerbau membuatnya terlihat kokoh.
Aku menghela nafas panjang. Lima menit hanya berdiri, terdiam di sini. Di gerbang kepulangan BIM sambil mencari – cari Emak dan Abak.
“Dokter Reza, dokter..”, teriak suara dari kerumunan orang yang sedang menunggu kedatangan anggota keluarganya. Ku lihat ada yang melambaikan tangan. Ku dekati Emak, Abak, Angku Rajo Lelo, dan Tek Pidah. Ku ciumi tangan mereka satu persatu.
“Sudah jadi dokter kau sekarang ya Jang, biar Angku bilang ke orang kampung, kalau engkau tidak boleh dipanggil Bujang lagi, tapi dokter Reza..” sambil menepuk pundak ku..
“Ya Ngku, kalau di kampung, di sapa Bujang mungkin lebih nyaman, Ujang tidak akan berubah, tetap Ujang yang dulu..”, jelasku sambil tersenyum kepada Emak dan Abak.
“Ayo Nak, kita pulang, segan kita dengan Bang Mandah sudah lama nunggu di mobil, tadi kami berangkat dengan mobilnya Mayang Taurai”, ujar Emak sambil mengangkat kardus ditanganku..
“Ya Mak, biar Ujang sendiri yang bawa..”, cegah ku pada Emak.
“Tak apalah Nak, engkau pastilah capek”, kata Abak seraya mengambil koperku.
            Perjalanan ke kampung kami sekitar 1,5 jam dari bandara. Bagi para pelancong, kampung kami “ajaib”, tidak kalah indah dari Bali. Di luar sana hujan mulai turun, ku naikkan kaca mobil. Tidak terlalu banyak perubahan, semua masih pada posisinya masing – masing. Pasangan berteduh karna tidak membawa mantel. Kesibukan masih terlihat di toko yang berdiri sepanjang jalan. Warung – warung tenda makanan masih buka. Hanya jalanan di depan yang terus berganti formasi. Mobil mulai merayap dengan kipas air kaca depan yag terus berderit. Kiri – kanan. Kanan kiri. Membuang bulir air yang tak pernah berhenti menimpa kaca.
            Mobil beringsut seperti keong, ketika bertemu dengan kemacetan perempatan, jalan berlobang atau beberapa tempat yang digenang banjir. Sebuah kijang bergambarkan lambang sebuah maskapai penerbangan lewat. Mungkin mobil antar jemput untuk pilot dan pramugari maskapai itu.
            Ketika mobil mulai masuk di kota Pariaman, hujan mulai reda. Ku lihat betapa gagah tugu Tabuik menyambut kami. Tabuik dirayakan di sepuluh awal Muharram, sebuah patung berbentuk wanita cantik sedang menaiki kuda bersayap, setelah di arak keliling kota, tabuik akan dibuang ke laut tepat di depan pantai gandoriah. Tabuik telah menjadi ikon kota Sala Lauak ini, ribuan pengunjung memadati kota tiap 10 Muharram.
            Tak berapa lama dari pusat kota, tak berapa jauh dari pasar Sungai Limau, mobil memutar ke kiri, menuruni kelokan tajam. Melaju perlahan. Melewati perkebunan kelapa yang tumbuh subur. Udara terasa lembab, ada bekas hujan yang turun tadi siang. Hanya menyisakan rintik air yang jatuh dari nyiur kelapa sepanjang jalan. Menyisakan titik air yang menggumpal di ujung paying yang masih terkembang namun enggan bergulir. Menyisakan titik air di sudut ku. Mata ku tanpa kusadari basah. Akhirnya sampai juga di rumah, tak ada banyak perubahan. Di sini seorang dokter dibesarkan, akhirnya sungguh membuncahkan seluruh perasaan dan kenangan.
***

“Sudahlah, Anakku,” suara Emak menyadarkan Bujang dari lamunan bercampur kemurungan. Wanita itu memegang pundak anaknya dari belakang. Ia lantas duduk di sampingnya.

“Bujang belum bisa menerima keputusan Abak”,  Bujang mengangkat mukanya. Ia memandang lekat wanita bersarung dan berbaju lengan panjang yang duduk di sampingnya itu. Bujang seakan minta dukungan.
“Iya, Bujang. Emak bisa memahami perasaanmu. Emak sangat mendukung pemikiranmu.. Tapi...”, wanita itu menggantung kalimatnya. Ia menghirup udara dalam - dalam lalu menghempaskannya lagi seraya melemparkan pandangannya ke ruang tengah, tempat Abak yang sedang menonton siaran berita.
“Emak tidak bisa menyalahkan Abakmu juga. Kamu kan tahu adat di kampung kita. Dulu Abak mu juga dibeli oleh Kakek mu, PNS saat itu telah dihargai dengan satu motor. Kalau kamu masih ngotot untuk tidak dibeli, jangan harap Abak akan datang di pernikahan mu Nak, ia bilang sangat malu jika anaknya yang terpandang dilepas tanpa harga. Apa lagi engkau seorang dokter.
Bujang kembali terdiam. Dokter berambut hitam tebal itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba untuk mencerna dan menerima setiap kalimat yang dilontarkan oleh Emaknya barusan. Cukup lama. Tapi ia tetap tidak setuju. Ia memandangi Abak yang hanya diam dan tidak mau berkomentar.
“Apa kata orang kampung Nak. Sudah banyak yang datang dan kami pun tidak bisa menerima,  Amak tahu sosok wanita yang engkau idamkan, dan Abak tidak masalah, hanya saja Abak ingin engkau dihargai dengan adat kita. Kau masih ingat dokter Fuad ? Anaknya pak Wali, ia sama seperti mu, akhirnya tidak ada perhelatan, dan sejak itu Fuad jarang pulang kampung. Mungkin karena malu tak menjalankan adat..”, Emak diam sejenak.
“Engkau pikirkan lah dulu semalam ini. Mana yang terbaik menurutmu. Besok engkau mesti memenuhi undangan Kepala Dinas kan..”, tutup Emak.
Tiba-tiba ia merasakan Magribnya menjadi lain dari hari-hari biasa. Ada hawa kepanikan yang berkecamuk menyusup masuk ke dalam kalbunya, dokter Reza Pahlevi alias dokter bujang..
***
Kepada : Abak tercinta
Assalamu’alaikum.ww.wb.
Abak, sebelumnya Ananda minta maaf atas kejadian kemaren, Ananda tidak ingin dicap sebagai anak durhaka. Tapi untuk hal ini, Ananda tidak bisa memenuhi kehendak Abak. Ananda mengerti maksud baik Abak dan Emak, tidak ingin merendahkan martabat keluarga kita, terlebih karena Abak juga sudah diangkat sebagai Datuk.
Terima kasih telah membesarkan Ananda dengan kasih sayang, smoga gelar dokter yang Ananda raih bisa menjadi kebanggaan Abak dan Emak. Inilah buah didikan keras Abak waktu kecil, dan Ananda pun tidak ingin memiliki sekat dengan orang lain khususnya warga kampung kita. Ananda lebih senang disapa Bujang dibanding dokter Reza.
Abak, biarlah orang memandang lain, Ananda sudah memiliki orang yang tepat untuk jadi bagian keluarga kita. Ia sholehah, dan sesuai dengan keinginan Ananda. Berikut Ananda sertakan biodata lengkap dan foto beliau. Kalau dilihat dari ekonomi, ia berasal dari keluarga sederhana, orang tuanya petani. Jika memang aturan Adat harus dipaksakan, tidak akan mungkin keluarganya sanggup membeli Ananda apalagi mesti seharga mobil merek terkenal. Tentu sangat mahal..
Abak, bukankah Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Khitabullah. Cukuplah Islam yang menemani perjalanan Ananda ke jenjang pernikahan, dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Semoga Abak dan Emak mengerti maksud Ananda. Sengaja Ananda menulis surat ini, jika bersua Abak dan Emak, agak sulit Ananda menjelaskannya. Wassalam.
                                                                                                  Sembah Sujud Ananda
                                                                                                 Dr. Reza Pahlevi / Bujang
“Mak, Bujang pamit ke kantor Wali, Abak mana ?”, kucium tangan Emak..
“Abak mu sudah berangkat dari tadi pagi, saat engkau di kamar mandi. Ia ada perlu dengan Pak Bustami, yang jadi kepala sekarang di sekolah Abakmu”, jawab Emak..
“Mak, saya titip buat Abak ya..”, seraya ku serahkan amplop berisi biodata ukhti Dilla, lengkap dengan foto dan surat yang ku tulis tadi malam. Nurul Fadhillah, akhwat tamatan ITB yang kini jadi dosen di Kota Padang. Sudah 3 bulan aku mengenalnya, lewat guru mengaji, tepat sebulan menjelang aku wisuda dokter.
“Apa ini Nak ?”
“Surat cinta Ananda, juga ada sosok calon menantu buat Emak”, jawabku beranjak pergi sambil melepas senyum ke arah Emak..

*cerpen karya dr. Poby Karmendra ini terangkum dalam antalogi cerpen Dokter "Bujang" yang diterbitkan oleh Asy-Syifa Jogjakarta pada November 2011 dan telah masuk pada cetakan ke II.

1 komentar: