Mema’afkan merupakan salah
satu sifat mulia yang dianjurkan dalam
Al Qur’an namun kadang sulit untuk diterapkan.
Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.
(QS. Al Qur’an, 7:199)
"...dan hendaklah mereka
memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu?
Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
(QS. An Nuur, 24:22)
Mereka yang tidak
mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab,
mereka akan mudah marah terhadap kesalahan yang diperbuat orang lain. Padahal
dengan mema’afkan itu lebih baik.
... dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni
(mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Pemahaman seorang muslim
tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani
hidup sesuai ajaran Al Qur'an. Meskipun banyak orang berkata mereka telah
memaafkan, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan
marah dalam hati mereka.
Menurut penelitian
terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan
adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah
namun juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan
penelitian, gejala kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress (tekanan
jiwa), susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang.
Dalam bukunya, Forgive
for Good (Maafkanlah demi Kebaikan), Dr. Frederic Luskin menjelaskan sifat
pemaaf sebagai resep yang telah terbukti bagi kesehatan dan kebahagiaan. Buku
tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf memicu terciptanya keadaan baik
dalam pikiran seperti harapan, kesabaran dan percaya diri dengan mengurangi
kemarahan, penderitaan, lemah semangat dan stres. Menurut Dr. Luskin, kemarahan
yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang dapat teramati pada diri
seseorang. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa:
Permasalahan
tentang kemarahan jangka panjang atau yang tak berkesudahan adalah kita telah
melihatnya menyetel ulang sistem pengatur suhu di dalam tubuh. Ketika Anda
terbiasa dengan kemarahan tingkat rendah sepanjang waktu, Anda tidak menyadari
seperti apa normal itu. Hal tersebut menyebabkan semacam aliran adrenalin yang
membuat orang terbiasa. Hal itu membakar tubuh dan menjadikannya sulit berpikir
jernih – memperburuk keadaan.
Sebuah tulisan berjudul
"Forgiveness" (Memaafkan), yang diterbitkan Healing
Current Magazine (Majalah Penyembuhan Masa Kini) edisi bulan
September-Oktober 1996, menyebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau
suatu peristiwa menimbulkan emosi negatif dalam diri orang, dan merusak
keseimbangan emosional bahkan kesehatan jasmani mereka. Artikel tersebut juga
menyebutkan bahwa orang menyadari setelah beberapa saat bahwa kemarahan itu
mengganggu mereka, dan kemudian berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan.
Jadi, mereka mengambil langkah-langkah untuk memaafkan. Disebutkan pula bahwa,
meskipun mereka tahan dengan segala hal itu, orang tidak ingin menghabiskan
waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan, dan lebih
suka memaafkan diri mereka sendiri dan orang lain.
Semua penelitian yang ada
menunjukkan bahwa kemarahan adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak
kesehatan manusia. Memaafkan, di sisi lain, meskipun terasa berat, terasa
membahagiakan, satu bagian dari akhlak terpuji, yang menghilangkan segala
dampak merusak dari kemarahan, dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang
sehat, baik secara lahir maupun batin. Namun, tujuan sebenarnya dari memaafkan
–sebagaimana segala sesuatu lainnya – haruslah untuk mendapatkan ridha Allah.
Kenyataan bahwa akhlak seperti ini, dan manfaatnya telah dibuktikan secara
ilmiah, telah dinyatakan dalam banyak ayat Al Qur’an, adalah satu saja dari
banyak sumber kearifan yang dikandungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar