Banyak orangtua yang beranggapan bahwa imunisasi adalah
sesuatu yang tidak penting untuk dilakukan; bahkan ada orang tua yang
takut anaknya diimunisasi, karena khawatir dapat menyebabkan kecacatan
mental dan penyakit lainnya. Apakah imunisasi bermanfaat atau hanya
memberikan mudharat? Sebelum menyimpulkan suatu kabar yang diberitakan;
apakah benar atau salah; alangkah baiknya kalau kita menilik lebih dalam
mengenai hal yang dipermasalahkan dalam kabar tersebut. Oleh sebab itu,
kita harus kembali ke konsep dasar imunisasi, mulai dari pengertian,
komposisi, manfaat dan efek samping yang ditimbulkannya.
Imunisasi sering disalah artikan dengan vaksinasi.
Imunisasi adalah serangkaian proses yang dilakukan untuk menimbulkan
imunitas (kekebalan) pada tubuh dengan berbagai cara baik pasif maupun
aktif. Imunitas pasif diperoleh secara langsung baik dari hewan (berupa
serum) ataupun dari ASI. Imunitas aktif didapat ketika pajanan
mikroorganisme tertentu memicu respons kekebalan tubuh sehingga tubuh
membentuk kekebalan secara mandiri. Imunitas aktif dapat dibagi menjadi
dua, imunitas aktif alami dan buatan. Imunitas aktif alami diperoleh
dari infeksi alamiah yang menyerang manusia. Hal ini akan menyebabkan
tubuh membangun proteksi jangka panjang terhadap infeksi yang sama
berikutnya. Imunitas aktif buatan diperoleh dengan memasukkan kuman ke
dalam tubuh dalam bentuk vaksin. Vaksin dapat merupakan mikroorganisme
hidup, mikroorganisme yang dimatikan, atau toksin (racun) mikroorganisme
yang dimodifikasi.Sedangkan vaksinasi diartikan sebagai proses memasukkan
vaksin kedalam tubuh. Jadi dapat disimpulkan bahwa vaksinasi merupakan
bagian dari imunisasi.
Imunisasi pertama kali ditemukan pada awal tahun 1800
oleh Edward Jenner (1749-1823), seorang dokter berkebangsaan Inggris.
Pada waktu itu terjadi wabah campak (smallpox) di Inggris dan
menelan banyak korban jiwa, terutama anak-anak. Selain menyerang
manusia, virus yang mirip ternyata juga menyerang sapi (cowpox). Infeksi virus cowpox
hanya menyebabkan gejala ringan pada manusia. Beliau kemudian
berinisiatif untuk mengambil cairan yang berasal dari pustule (benjolan
berisi cairan yang merupakan gejala cowpox) sapi yang
terjangkit untuk dipaparkan kepada orang sehat. Dari penelitian yang
dilakukan beliau, orang tersebut terlindungi lebih baik terhadap campak
dibandingkan dengan orang yang tidak dipaparkan cairan tersebut.
Hasilnya, wabah campak yang menyerang Inggris saat itu dapat
dikendalikan. Mulai saat itu, penelitian mengenai imunisasi berkembang
dengan pesat.
Jika dilihat dari komponennya yang berupa mikroorganisme,
baik yang dilemahkan, dimatikan ataupun toksin yang dimodifikasi,
sangat mungkin timbul efek samping pada individu yang diberikan vaksin.
Ketika mikroorganisme masuk kedalam tubuh, secara alami tubuh akan
membentuk substansi (mis: interleukin, TNF - α) untuk melawan
mikroorganisme tersebut. Selain berdampak buruk pada mikroorganisme,
substansi tersebut juga dapat menimbulkan berbagai efek negatif terhadap
tubuh, mulai dari demam, kejang sampai gangguan saraf. Oleh sebab itu,
yang menentukan seberapa besar efek samping yang ditimbulkan adalah
berapa banyak substansi yang dikeluarkan tubuh untuk melawan
mikroorganisme tersebut. Selain itu, pada vaksin juga terdapat bahan
tambahan berupa zat kimia (mis: logam aluminium) yang terkadang juga
menimbulkan efek samping walaupun sangat jarang. Efek samping yang
ditimbulkan berbeda pada setiap orang. Hal ini disebabkan karena setiap
orang mempunyai karakteristik respons yang berbeda dengan orang lain
tergantung pada banyak faktor, seperti genetik dan lingkungan. Misalnya
pada pemberian vaksin dengan jenis dan dosis yang sama, anak “A” bisa
saja mengalami demam dan kejang sementara anak “B” tidak. Berdasarkan
fakta di lapangan, dampak efek samping yang berat sangat jarang
ditemukan.
Berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) imunisasi yang wajib diberikan kepada anak adalah imunisasi
polio, campak, hepatitis, BCG, dan DPT. Patut diperhatikan antara
manfaat dan efek samping yang ditimbulkan oleh suatu imunisasi, misalnya
pada vaksin DPT (Diphteri, Pertussis, Tetanus). Akibat efek
samping yang ditimbulkannya, yaitu berupa kejang, kerusakan otak dan
bahkan kematian, penggunaan vaksin ini berkurang drastis pada tahun
1970-an. Kira-kira terdapat 26 anak-anak yang meninggal setiap tahunnya
karena penggunaan vaksin DPT. Tetapi, infeksi yang disebabkan oleh
bakteri pertusis (batuk rejan), jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan
efek samping yang ditimbulkan vaksin DPT. Di negara berkembang,
kira-kira 750.000 anak-anak meninggal setiap tahunnya karena pertusis,
padahal hal ini bisa dicegah dengan penggunaan vaksin DPT. Oleh sebab
itu, keuntungan imunisasi untuk anak-anak lebih besar dibandingkan
dengan risiko yang ditimbulkannya, sehingga tidak ada kontraindikasi
untuk melakukan imunisasi pada anak yang sehat.
Fakta lainnya adalah suksesnya eradikasi polio yang dicanangkan oleh WHO pada tahun 1998 melalui program Global Polio Eradication Initiative (GPEI).
Program ini bertujuan untuk mendukung setiap negara di dunia agar
melaksanakan program imunisasi polio bagi setiap anak sampai penyebaran
polio berhenti dan dunia menjadi bebas polio. Sejak dilaksanakannya
program ini, jumlah kasus polio yang dilaporkan setiap tahun berkurang
lebih dari 99%; dari 350.000 pada tahun 1988 menjadi 1.625 kasus pada
tahun 2008. Tetapi, tugas WHO belum selesai. Kasus polio masih banyak
ditemukan pada empat negara dan beberapa negara yang mengalami kasus
infeksi berulang. Pada tahun 2008, keempat negara tersebut, yaitu
Nigeria, Afganistan, Pakistan dan India, melaporkan hampir 91% dari
seluruh kasus polio baru di dunia (1.488 kasus dari total 1.625 kasus).
Tetapi, secara umum program WHO untuk imunisasi polio ini berjalan
dengan baik dengan berkurangnya kasus baru sebanyak lebih dari 99%
seperti yang telah disebutkan diatas.
Jika dilihat dari perspektif Islam, maka imunisasi
hukumnya dapat halal dan dapat juga haram. Penentuan halal atau haramnya
sebuah vaksin dapat dilihat dari bahan-bahan yang terkandung dalam
vaksin tersebut dan seberapa pentingnya vaksin tersebut terhadap
kesehatan dan keselamatan seseorang. Bicara masalah haram atau halal,
maka hal ini tidak dapat dilepaskan dari Al-Qur’an dan Sunnah.
” Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah:173).
” Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik,
yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala...” (QS. Al-Maidah:3).
Berdasarkan firman Allah diatas, maka vaksin hukumnya
haram jika mengandung bahan-bahan yang diharamkan, misalnya babi dengan
segala derivat atau turunannya (darah, enzim, dan sebagainya). Tetapi,
hukum haram ini dapat berubah menjadi halal jika vaksin ini sangat
penting untuk keselamatan seseorang dan sampai sekarang belum ditemukan
bahan yang halal untuk menggantikannya. Contohnya pada penggunaan
vaksin meningitis (radang selaput otak) untuk jemaah haji. Vaksin
meningitis tersebut mengandung enzim porchin yang berasal dari babi.
Penggunaan vaksin ini diwajibkan oleh pemerintah Arab Saudi kepada
jamaah haji untuk mencegah penyakit meningitis. Penyakit ini dapat
mengancam keselamatan jamaah haji dan sampai saat ini belum ditemukan
adanya bahan pengganti untuk enzim porchin ini. Oleh sebab itu, Majelis
Ulama Indonesia selaku badan yang berwenang untuk mengeluarkan keputusan
halal atau haram, memutuskan bahwa penggunaan vaksin meningitis adalah
halal dengan syarat-syarat tertentu (mis: pelaksaan haji tersebut adalah
yang pertama kalinya). Sedangkan untuk imunisasi pada anak (campak,
polio, DPT, BCG, hepatitis), sampai sekarang tidak ada pelabelan haram
oleh MUI; dengan kata lain, imunisasi pada anak halal hukumnya.
Berdasarkan berbagai fakta dan penelitian yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa manfaat imunisasi melebihi efek
samping yang ditimbulkannya. Oleh sebab itu, para orang tua tidak perlu
khawatir untuk memberikan imunisasi kepada anaknya. Dengan pemberian
imunisasi, berbagai penyakit berbahaya dapat dicegah, seperti campak,
polio, hepatitis dan tuberkulosis (TBC) dan tentu saja dengan pencegahan
ini, maka anak dapat menggapai masa depan yang lebih cerah. Pembangunan
paradigma positif terhadap imunisasi jelas perlu ditekankan kedepannya
untuk membentuk generasi muda bangsa yang sehat dan berkualitas. Jadi,
kenapa anda harus ragu untuk memberikan imunisasi kepada anak anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar