Teringat
waktu masa kecil dulu, di sekolah, di rumah, di sekolah tempat orang tua ku
mengajar, dimana saja, jika ada yang nanya : “kalo udah besar mau jadi apa?”.
So pasti dengan mantap tanpa ragu akan ku
jawab dengan senyum sumringah : “Jadi doktel”, pas udah gede dikit, disaat gak
cadel lagi : “jadi dokter !”.
Di sekolah, buat menghangatkan suasana, biasanya guru TK
dan SD kelas I suka melontarkan pertanyaan yang hampir sama : “Anak-anak, siapa
yang mau jadi dokteeeerrrrr??”. Trus dengan polos, dengan sedikit bloon tapi
penuh semangat, hampir seluruh isi kelas akan menjawab : “saya buk.. saya buk..
saya buk…” tentu saja dengan ngangkat tangan tinggi-tinggi, berlomba siapa yang
lebih tinggi mengacungkan tangan (serius, sampe ada yang pengen manjat meja,
biar acungan tangannya paling tinggi), seolah-olah siapa yang acungan tangannya
paling tinggi, dialah yang paling berhak jadi dokter.. ^^
Waktu zaman
co-ass dulu, ingin rasanya kembali ke masa lalu, kalau bisa kembali ke masa kecil dulu, saat ibu guru bertanya di depan
kelas. Kalau beliau nanya lagi :”anak-anak, siapa yang mau jadi dokteeeerrr??”.
Mungkin aku akan langsung teriak histeris dan ngumpet ke bawah meja, sambil
berteriak : “saya gak mau jadi dokter buk, saya gak mau.. saya mau pilih
jurusan lain saja buk !! Plizz buk, jangan paksa saya.. (terlalu lebay..)
Kenapa
aku pengen jadi dokter ? Dulu banget, waktu aku masih sangat kecil, nenek
sering bercerita betapa gagahnya kalau
bisa jadi seorang dokter dan berharap salah satu cucunya bisa jadi dokter,
orang tua pun sering bercerita kalo menjadi dokter itu adalah pekerjaan yang
mulia dan bisa dapat banyak pahala. Entah kenapa kata mulia dan pahala
bagi ku adalah kata yang terasa wah
waktu itu, padahal tidaklah terlalu paham. Seperti didoktrin kalau dokter adalah
sosok yang luar biasa dan keinginan untuk membuat keluarga bangga, akhirnya aku
pun membulatkan tekad berjuang untuk menjadi dokter. Terlebih harga jual dokter
di kampung kami amat lah tinggi, sebuah kebiasaan adat bahwa semakin tinggi
pendidikan, semakin mahal harganya saat hendak menikah nanti, dan itu hanya
berlaku pada kaum laki – laki saja.. (beruntungnya jika aku jadi dokter,
pikiran di masa lalu..)
Beranjak dari
menempuh pendidikan di SMA, cita-cita ku masih belum berubah, tapi bedanya
sekarang ditambah dengan ego. Ego untuk membuktikan pada semua orang bahwa aku
pintar. Mungkin inilah kebodohan ku selanjutnya. Dan skenario Allah pun sama
dengan keinginan ku, lulus sebagai mahasiswa undangan di jurusan pendidikan
dokter sebuah Universitas ternama di pulau Jawa. Entah kenapa kata "mahasiswa undangan" di kampung ku,
benar - benar kata yang menakjubkan..
***
Tak sabar rasanya untuk pulang dan menemui
Emak, maklumlah sekolah ku berada di
luar daerah, sekitar 3 jam dari kampung. Emaklah yang sangat berharap aku
menjadi dokter, saat di atas gendongannya, ia selalu menidurkanku dengan
nyanyian yang baitnya dikarang sendiri untukku, kata ni Yan pengasuhku, baitnya
berisi harapan agar anak semata wayangnya kelak menjadi dokter. Oh ya, setelah
turun mandi, Abak memberikan nama Reza Pahlevi, tapi sapaan Bujang tetap saja
melekat sampai saat ini. Bujang, sapaan bagi laki-laki di kampung kami.
Bujang duduk memandangi halaman rumah dari balik jendela.
Pandangannya bercahaya memandang ujung jalan, tak sabar menunggu kepulangan Abak
dan Emak. Sudah lama ia mengidam-idamkan untuk bisa kuliah di Fakultas
Kedokteran, bercita-cita ingin menjadi seorang dokter seperti cerita nenek dan Emak
sewaktu kecil. Ia ingin setelah jadi dokter nanti bisa mengabdikan di kampung. Masih
menunggu kedatangan Abak dan Emak yang berkunjung ke rumah saudara, menggenggam
amplop yang berisikan surat undangan untuk melanjutkan kuliah di Fakultas
Kedokteran ternama di negeri ini.
Kini, ia tak sabar melihat ekspresi kedua orang tuanya, anak
lelaki semata wayang mereka akan siap menjadi orang. Siapa yang tak senang mendengar anaknya menjadi lebih baik, namun di kampung kami
gelar dokter amatlah bernilai tinggi. Bukan hanya disegani, tapi bernilai jual
saat akan dinikahkan. Emak saja dulu membeli Abak dengan sepeda motor karna
Abak bertugas sebagai pegawai negeri. Bayangkan saja jika seorang dokter akan
dinikahkan, uang hilang yang harus dikeluarkan calon istrinya bisa seharga
mobil merek terkenal di negeri ini.
Dari kejauhan suara motor Abak
terdengar jelas, dan aku bergegas menuju teras.
“Bujang..sudah
lama Nak ?”, ujar Emak
“Setengah
jam yang lalu Mak..!, jawabku sambil menyerahkan amplop coklat yang sejak tadi
ku genggam..
Emak
membukanya dengan tenang, sambil tersenyum melihat Abak, “Alhamdulillah ya Nak,
Emak sudah yakin engkau akan diterima, sebenarnya seminggu yang lalu, Abak dan
Emak sudah tahu dari Pak Yulson, tapi sengaja kami diamkan saja biar engkau
sendiri yang membuka amplopnya..”
“ya
Mak, tapi uang masuknya cukup besar..”, tegas ku..
“Aman
tu Jang, Abak telah menabung sejak lama untuk kuliah mu..”, jawaban Abak
melegakan ku..
“Kapan
engkau akan pergi Nak ?, mungkin hanya Abak yang bisa mengantar mu karna Emak
mesti ikut pelatihan minggu depan di dinas propinsi..”, ujar Emak, jelas di
wajahnya ada kesedihan karena tidak bisa mengantarkan ku ke tanah Jawa.
“Daftar
ulangnya tanggal sembilan Mak, jadi tiga hari lagi kita mesti berangkat”,
jawabku..
Sambil
melangkah ke dalam, Abak berkata pada Emak, “Pit, kapan engkau bisa memasak?
Kita bado’a sebelum kami pergi..”.
“hari
Senin lah Da, biar Minggu Pit ke pasar dulu. Nanti kau temani Mak ya Nak”, ia
melirikku..
“Ya
Mak”
“Sekarang
kau tidurlah dulu, nanti malam kita ke rumah Pak Etek mu”..
Aku
pun mengangguk, tanda mengiyakan perintah Emak..
***
Suara adzan Subuh terdengar syahdu dari mesjid kampung.
Suara yang terdengar keras dari corong loudspeaker seakan memantul di barisan bukit-bukit yang
berjejer rapi, lalu terbang ke angkasa memenuhi langit kampung ku dengan kedamaian
dan ketenteraman. Seperti biasa, aku dan Abak tak ingin ketinggalan shalat
berjama’ah, walau siang sibuk mencari penghidupan, di malam dan Subuhnya jadi
waktu yang tepat untuk berkumpul dengan penduduk lainnya. Tiba – tiba ada
tangan yang menepuk pundak ku..
“eh
Angku..”, sapaku sambil mencium tangannya, Angku Rajo Lelo seorang pemangku
adat di kampung kami yang sangat disegani.
“Angku
dengar, engkau mau jadi orang, setiap sudut kampung membicarakan engkau. Lulus
dimana kuliah mu Jang ? Apa jurusan yang engkau pelajari di Jakarta nanti ?”,
tanya Angku..
“Alhamdulillah
lulus di Pendidikan Dokter, insyaAllah nanti siang Ujang berangkat ke Jakarta
bersama Abak, mungkin sekarang Ujang sekalian pamit Ngku”, jawab ku pada Angku
dengan nada sedikit keras, maklumlah pendengaran Angku sudah berkurang,
sepantasnya juga saat usia beliau yang sudah masuk kepala tujuh.
“Pendidikan
dokter ? ada ya sekolah untuk jadi dosen? Mau seperti Abak mu juga? Kenapa
engkau tak sekolah dokter umum saja?”, ia menghujani ku dengan pertanyaan..
“Iya
Angku, jurusannya Pendidikan dokter, nanti tamatnya jadi dokter umum, beda sama
IKIP yang di Padang”, berharap penjelasan ku bisa dimengerti olehnya..
“Baguslah,
jangan kau lupakan kampung ini, hati – hati di Jakarta, siapa pula gadis di
kampung ini yang bisa membeli engkau nanti ya Jang, akan lepas ke daerah lain
pula engkau tampaknya. Lihatlah si Fuad, setelah ia jadi dokter, hanya sesekali
ia pulang ke sini, itupun tak pernah ia berkumpul lagi di lapau kopi, mungkin
merasa malu karena terjual murah..”, untuk sekian kalinya aku mendengar
komentar yang sama..
“Ya
Angku, terima kasih, mohon do’anya juga”, ucapku sambil manggut – manggut
mengiyakan petuahnya..
Tak lama berselang, matahari merambat naik di ufuk timur.
Perlahan siang mulai membentangkan cahayanya. Semua binatang telah memulai
aktivitasnya, kecuali kelelawar, binatang ini baru saja masuk dalam tidurnya
setelah semalaman terbang melayang-layang dengan suara yang membikin gaduh.
Suasana kampung mulai hidup kembali. Berarti tidak cukup dua jam lagi, aku akan
meninggalkan kampung, berat juga rasanya..
Dengan meminjam mobil Mayang Taurai, seorang kaya di kampung
kami, aku dan Abak diantar ke bandara Tabing.
Memulai hidup di negeri orang, belumlah pantas rasanya disebut pemuda Minang,
jikalau belum merantau, karna merantau telah jadi suatu keharusan bagi pemuda
di sini, “Marantau bujang dahulu, di
rumah baguno balun” ..
Menuju Jakarta,
tentulah membuatku canggung seorang diri di negeri orang. Menjadi anak kost
adalah perjuangan, harus menunggu waktu libur yang cukup untuk pulang. Menjadi
anak kost adalah perjuangan, tapi kuliah di jurusan Pendidikan Dokter bukanlah
sebuah kebetulan bagi ku. Hanya sebuah kekhawatiran yang menyelimuti ku, banyak
aku mendengar tentang kesehatan, termasuk rokok yang sudah bertahun aku hirup
asapnya dari Abak di rumah. Aku harus mampu untuk mengumpulkan ilmu, kekuatan, dan
niat untuk meminta Abak untuk berhenti merokok, mengingat usia orang yang
kucinta itu sudah lima puluh, dan kini ia tertidup lelap di samping ku. Suatu
ketika, waktu libur dan pulang ke rumah nanti adalah waktu ku untuk
“mempengaruhi” Abak agar segera berhenti merokok. Sangat mulia rencana ku,
sedang kini aku baru akan memulai langkah.
***
Enam tahun kemudian..
Tidak terasa enam tahun sudah aku di Jakarta, walau setiap
jelang lebaran selalu pulang basamo
ke Padang. Ada banyak kenangan yang terukir di kota ini, terlebih di saat
menjalani empat belas stase kepaniteraan klinik selama 2 tahun
di RSCM, menghadirkan beragam kisah yang layak untuk diceritakan, nikmat untuk
dikenang, tidak untuk diulang. Kota inilah yang memperkenalkan ku dengan
tarbiyah, menjalani kesibukan di forum studi islam, dan mempertemukan ku dengan
sosok wanita yang ku harap bisa diterima oleh keluarga di kampung.
Saatnya
hari ini kembali ke Padang, menaiki pesawat pagi. Seusai subuh, ketika jalan
ibukota masih sedikit sepi, bergegas menuju bandara. Tak sabar rasanya bertemu
sanak saudara di kampung, kepulangan ku terakhir 2 tahun lalu sebelum menjalani
pendidikan klinik di rumah sakit.
Terdengar suara pramugari meminta
penumpang memasang sabuk pengaman karena sebentar lagi kami akan landing di
Bandara International Minangkabau, bandara yang resmi dioperasikan 3 bulan yang
lalu. Kemegahannya sudah sangat jelas dari udara, gonjong seperti tanduk kerbau
membuatnya terlihat kokoh.
Aku
menghela nafas panjang. Lima menit hanya berdiri, terdiam di sini. Di gerbang
kepulangan BIM sambil mencari – cari Emak dan Abak.
“Dokter
Reza, dokter..”, teriak suara dari kerumunan orang yang sedang menunggu
kedatangan anggota keluarganya. Ku lihat ada yang melambaikan tangan. Ku dekati
Emak, Abak, Angku Rajo Lelo, dan Tek Pidah. Ku ciumi tangan mereka satu
persatu.
“Sudah
jadi dokter kau sekarang ya Jang, biar Angku bilang ke orang kampung, kalau
engkau tidak boleh dipanggil Bujang lagi, tapi dokter Reza..” sambil menepuk
pundak ku..
“Ya
Ngku, kalau di kampung, di sapa Bujang mungkin lebih nyaman, Ujang tidak akan
berubah, tetap Ujang yang dulu..”, jelasku sambil tersenyum kepada Emak dan Abak.
“Ayo
Nak, kita pulang, segan kita dengan Bang Mandah sudah lama nunggu di mobil,
tadi kami berangkat dengan mobilnya Mayang Taurai”, ujar Emak sambil mengangkat
kardus ditanganku..
“Ya
Mak, biar Ujang sendiri yang bawa..”, cegah ku pada Emak.
“Tak
apalah Nak, engkau pastilah capek”, kata Abak seraya mengambil koperku.
Perjalanan ke kampung kami sekitar
1,5 jam dari bandara. Bagi para pelancong, kampung kami “ajaib”, tidak kalah
indah dari Bali. Di luar sana hujan mulai turun, ku naikkan kaca mobil. Tidak
terlalu banyak perubahan, semua masih pada posisinya masing – masing. Pasangan
berteduh karna tidak membawa mantel. Kesibukan masih terlihat di toko yang
berdiri sepanjang jalan. Warung – warung tenda makanan masih buka. Hanya
jalanan di depan yang terus berganti formasi. Mobil mulai merayap dengan kipas
air kaca depan yag terus berderit. Kiri – kanan. Kanan kiri. Membuang bulir air
yang tak pernah berhenti menimpa kaca.
Mobil beringsut seperti keong,
ketika bertemu dengan kemacetan perempatan, jalan berlobang atau beberapa
tempat yang digenang banjir. Sebuah kijang bergambarkan lambang sebuah maskapai
penerbangan lewat. Mungkin mobil antar jemput untuk pilot dan pramugari
maskapai itu.
Ketika mobil mulai masuk di kota
Pariaman, hujan mulai reda. Ku lihat betapa gagah tugu Tabuik menyambut kami. Tabuik
dirayakan di sepuluh awal Muharram, sebuah patung berbentuk wanita cantik
sedang menaiki kuda bersayap, setelah di arak keliling kota, tabuik akan
dibuang ke laut tepat di depan pantai gandoriah. Tabuik telah menjadi ikon kota
Sala Lauak ini, ribuan pengunjung memadati kota tiap 10 Muharram.
Tak berapa lama dari pusat kota, tak
berapa jauh dari pasar Sungai Limau, mobil memutar ke kiri, menuruni kelokan
tajam. Melaju perlahan. Melewati perkebunan kelapa yang tumbuh subur. Udara
terasa lembab, ada bekas hujan yang turun tadi siang. Hanya menyisakan rintik
air yang jatuh dari nyiur kelapa sepanjang jalan. Menyisakan titik air yang
menggumpal di ujung paying yang masih terkembang namun enggan bergulir. Menyisakan
titik air di sudut ku. Mata ku tanpa kusadari basah. Akhirnya sampai juga di
rumah, tak ada banyak perubahan. Di sini seorang dokter dibesarkan, akhirnya
sungguh membuncahkan seluruh perasaan dan kenangan.
***
“Sudahlah, Anakku,” suara Emak menyadarkan Bujang dari lamunan bercampur kemurungan. Wanita itu memegang pundak anaknya dari belakang. Ia lantas duduk di sampingnya.
“Bujang belum bisa menerima keputusan Abak”, Bujang mengangkat mukanya. Ia memandang lekat wanita bersarung dan berbaju lengan panjang yang duduk di sampingnya itu. Bujang seakan minta dukungan.
“Iya, Bujang. Emak bisa memahami perasaanmu. Emak sangat
mendukung pemikiranmu.. Tapi...”, wanita itu menggantung kalimatnya. Ia
menghirup udara dalam - dalam lalu menghempaskannya lagi seraya melemparkan
pandangannya ke ruang tengah, tempat Abak yang sedang menonton siaran berita.
“Emak tidak bisa menyalahkan Abakmu juga. Kamu kan tahu adat
di kampung kita. Dulu Abak mu juga dibeli
oleh Kakek mu, PNS saat itu telah dihargai dengan satu motor. Kalau kamu masih
ngotot untuk tidak dibeli, jangan harap Abak akan datang di pernikahan mu Nak,
ia bilang sangat malu jika anaknya yang terpandang dilepas tanpa harga. Apa
lagi engkau seorang dokter.
Bujang kembali terdiam. Dokter berambut hitam tebal itu
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Mencoba untuk mencerna dan menerima
setiap kalimat yang dilontarkan oleh Emaknya barusan. Cukup lama. Tapi ia tetap
tidak setuju. Ia memandangi Abak yang hanya diam dan tidak mau berkomentar.
“Apa
kata orang kampung Nak. Sudah banyak yang datang dan kami pun tidak bisa
menerima, Amak tahu sosok wanita yang
engkau idamkan, dan Abak tidak masalah, hanya saja Abak ingin engkau dihargai
dengan adat kita. Kau masih ingat dokter Fuad ? Anaknya pak Wali, ia sama seperti
mu, akhirnya tidak ada perhelatan, dan sejak itu Fuad jarang pulang kampung.
Mungkin karena malu tak menjalankan adat..”, Emak diam sejenak.
“Engkau
pikirkan lah dulu semalam ini. Mana yang terbaik menurutmu. Besok engkau mesti
memenuhi undangan Kepala Dinas kan..”, tutup Emak.
Tiba-tiba ia merasakan Magribnya menjadi lain dari hari-hari
biasa. Ada hawa kepanikan yang berkecamuk menyusup masuk ke dalam kalbunya,
dokter Reza Pahlevi alias dokter bujang..
***
Kepada
: Abak tercinta
Assalamu’alaikum.ww.wb.
Abak, sebelumnya Ananda minta maaf atas kejadian kemaren,
Ananda tidak ingin dicap sebagai anak durhaka. Tapi untuk hal ini, Ananda tidak
bisa memenuhi kehendak Abak. Ananda mengerti maksud baik Abak dan Emak, tidak
ingin merendahkan martabat keluarga kita, terlebih karena Abak juga sudah
diangkat sebagai Datuk.
Terima kasih telah membesarkan Ananda dengan kasih sayang,
smoga gelar dokter yang Ananda raih bisa menjadi kebanggaan Abak dan Emak.
Inilah buah didikan keras Abak waktu kecil, dan Ananda pun tidak ingin memiliki
sekat dengan orang lain khususnya warga kampung kita. Ananda lebih senang
disapa Bujang dibanding dokter Reza.
Abak, biarlah orang memandang lain, Ananda sudah memiliki
orang yang tepat untuk jadi bagian keluarga kita. Ia sholehah, dan sesuai
dengan keinginan Ananda. Berikut Ananda sertakan biodata lengkap dan foto
beliau. Kalau dilihat dari ekonomi, ia berasal dari keluarga sederhana, orang
tuanya petani. Jika memang aturan Adat harus dipaksakan, tidak akan mungkin
keluarganya sanggup membeli Ananda apalagi mesti seharga mobil merek terkenal.
Tentu sangat mahal..
Abak, bukankah Adat basandi Syara’, Syara’ basandi
Khitabullah. Cukuplah Islam yang menemani perjalanan Ananda ke jenjang
pernikahan, dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Semoga Abak dan Emak mengerti
maksud Ananda. Sengaja Ananda menulis surat ini, jika bersua Abak dan Emak,
agak sulit Ananda menjelaskannya. Wassalam.
Sembah Sujud Ananda
Dr. Reza Pahlevi / Bujang
“Mak,
Bujang pamit ke kantor Wali, Abak mana ?”, kucium tangan Emak..
“Abak
mu sudah berangkat dari tadi pagi, saat engkau di kamar mandi. Ia ada perlu
dengan Pak Bustami, yang jadi kepala sekarang di sekolah Abakmu”, jawab Emak..
“Mak,
saya titip buat Abak ya..”, seraya ku serahkan amplop berisi biodata ukhti
Dilla, lengkap dengan foto dan surat yang ku tulis tadi malam. Nurul Fadhillah,
akhwat tamatan ITB yang kini jadi dosen di Kota Padang. Sudah 3 bulan aku
mengenalnya, lewat guru mengaji, tepat sebulan menjelang aku wisuda dokter.
“Apa
ini Nak ?”
“Surat
cinta Ananda, juga ada sosok calon menantu buat Emak”, jawabku beranjak pergi
sambil melepas senyum ke arah Emak..
*cerpen karya dr. Poby Karmendra ini terangkum dalam antalogi cerpen Dokter "Bujang" yang diterbitkan oleh Asy-Syifa Jogjakarta pada November 2011 dan telah masuk pada cetakan ke II.
*cerpen karya dr. Poby Karmendra ini terangkum dalam antalogi cerpen Dokter "Bujang" yang diterbitkan oleh Asy-Syifa Jogjakarta pada November 2011 dan telah masuk pada cetakan ke II.
yah.. endingnya gimana tuh,,
BalasHapus