Bersabarlah, empat minggu harus menunggu
jadwal stase daerah ku, dan saat menyiapkan bekal selama menjalani stase bedah
di kota Padang ini. Menempuh 3,5 jam
bukanlah waktu yang lama, keelokan rupa alam membuat kami terlupa akan jauhnya
perjalanan. Saat-saat menyaksikan puing reruntuhan sebagai saksi gempa 30
September, saat-saat memandang hijaunya hutan lindung yang ditemani gemericik
air sungai menyapa bebatuan, saat-saat melihat cantiknya air terjun Lembah Anai
yang jatuhnya tepat di tepi jalan yang kami lewati, saat – saat menghirup
segarnya udara Padang Panjang, saat kami melewati tepian kota Bukittinggi yang
menghadirkan aura kalau ia pantas dijuluki kota wisata..
Jam tangan ku mengabari pukul 19.00
WIB, saat travel yang kami tumpangi memutar arah ke kiri, memasuki komplek RSUD
Adnan WD Payakumbuh. Dua minggu ke depan, akan menjalani stase Bedah di sini.
Serasa pindahan rumah, tidak hanya pakaian, satu kardus mie instan yang berisi buku
Bedah tak mau ketinggalan. Hanya ada tiga dokter muda yang ditugaskan, sedang
yang lain menyebar di 4 RSUD lainnya dan ada yang bertugas di Padang.
Alhamdulillah, mujurku ditempatkan bersama dua orang akhwat, Ukht Nae dan Oca, setidaknya
kesamaan pola pikir kami, membuatku lebih terjaga dalam ibadah dan member kesempatan
bagiku untuk menjalankan misi lainnya tanpa harus meninggalkan tujuan utama “kepaniteraan klinik bedah”.
Kami diberikan dua ruang yang
dijadikan sebagai kamar dokter muda, tepat di atas IGD, ruang berukuran 4 x 5
lengkap dengan AC-nya. Selain kami, ada enam dokter muda bagian Anak yang berpraktek
di RSUD Adnan WD ini.
***
Payakumbuh, kota yang tak asing lagi
bagiku, hanya sebuah kota kecil yang sangat dekat dengan provinsi tetangga .
Seusai pendidikan di kampus, dua bulan mesti mengikuti program KKN (Kuliah
Kerja Nyata) di tepian kota ini, berinteraksi dengan beragam jurusan, sedangkan
aku sendiri membawa misi dalam membina
dokter kecil, gerakan jamban sehat,dan mengaktifkan posyandu, cukup baik
sambutan dari masyarakat. Tak perlu canggung untuk kembali ke kota ini. Empat
bulan yang lalu, seminggu lamanya aku menjalani stase Anak di d “Kota Batiah” ini, cukuplah untuk
mengenal suasana RSUD Adnan WD, RS tipe C yang juga dijadikan wahana dokter
internship, senior ku angkatan 2004 yang mesti mengikuti program internship
perdana di Indonesia.
***
Senin pagi berkisah, pukul 07.00 WIB, tiga orang
dokter muda melangkah ke bangsal Teratai, sebutan untuk bangsal bagian Bedah,
mem-follow up pasien yang semalam telah kami, tiap dokter muda akan melaporkan pasiennya
saat visite dengan konsulen nanti. Itupun kami lakukan, hanya 16 pasien dibagi
3, berarti 6 pasien yang mesti ku periksa pagi ini, tentunya setelah
mempelajari status pasien yang jadi tanggung jawabku. Mendapat cerita turun –
temurun, kalau konsulen hari ini dr. Agus Sp.B yang selalu visite dengan bahasa
Inggris kepada dokter muda yang memberikan laporan. Seharusnya amat beruntung,
selain tantangan, setidaknya kami tidak malu jikalau ia sedang marah dengan
bahasa yang kami harap tidak dimengerti sang pasien.
Satu per satu ku follow up - i, terakhir Tn.Nadran, pasien
laki-laki 66 tahun, menempati ruang kelas I dengan diagnosa selulitis. Ruangnya
tepat di pintu masuk, ku lihat ia masih berselimut. Ku minta istrinya untuk membangunkannya.
Di awali dengan perkenalan diri sebagai dokter muda yang bertugas 2 minggu ke
depan, amat bersahabat kesan pertamaku.
Kakinya yang ditinggikan terlihat masih sedikit bengkak dan berwarna kemerahan.
Setelah ku follow-up, sama seperti pasien yang lain, tak lupa ku tinggalkan
nomor handphone ku pada nya, sambil meninggalkan pesan, “Pak, tiap hari kita
akan bertemu, jika ada apa-apa dan butuh bantuan, Bapak bisa menghubungi nomor
saya ini..”
Seorang laki-laki seumuran Ayah ku masuk ke bangsal.
Dr.Agus Sp.B, konsulen yang kami tunggu. Dilihat dari parasnya jauh terkesan
lebih muda, dibalut jeans dan kemeja serta komunikasinya yang humoris. Kamipun
memperkenalkan diri, sebagai dokter muda yang akan praktek 2 minggu
menggantikan kawan sejawat kami sebelumnya.
Dag..dig..dug.., melangkah ke ujung bangsal, kami
pun bersiap-siaga melaporkan tiap pasien. “Harap dimaklumi saja jika saat
diskusi akan membuat Bapak tertawa dengan kemampuanku, karena untuk visite saat
ini tentu telah kusiapkan dan laporannya pun telah ditranslate sebelumnya”,
pikirku dalam hati. Ternyata tak separah cerita, sesekali ku selipkan bahasa
Indonesia, karna kosa kata ku telah terbentur dengan ketidak tahuan. Sampai jua
ke pasien terakhir, Tn.Nadran..
Saat pintu ruang dibuka, “How are you to day ?”,
ujar dr.Agus memulai visite.. “Alhamdulillah, I am healthy. It’s nice to meet
you again Sir. My leg has been better, I have stopped smoking. When can I go
home ?..”, ujar Tn.Nadran. Mereka pun berinteraksi berdua dengan akrab, tanpa
mesti ku laporkan dan terkesima dengan kemampuan bahasa Inggris Tn. Nadran.
Lima hari lagi, Tn.Nadran direncanakan pulang,
berarti kami akan kehilangannya, tiada ada lagi percakapan dengan bahasa
Inggris antara pasien dan dokter, tiada lagi pasien yang akan kami dengarkan
cerita-cerita masa lalunya. Kami bertiga telah menganggapnya sebagai kakek
sendiri. Saat - saat pagi membangunkan tidurnya dan menanyakan sholat Subuhnya,
saat – saat mendapatinya merokok diam – diam dan akhirnya rokoknya mesti kami
sita.
Sabtu pagi kelabu.. Saat Tn.Nadran akan pamitan
untuk pulang ke rumah, ia menawarkan untuk berkunjung ke rumahnya yang hanya 30
menit dari RS. Tidak terlalu jauh, kami pilih hari Kamis depan untuk
silaturahim ke rumah, sekalian buka puasa di sana.
***
Kamis siang, ia menelpon ku, jam
17.00 WIB kami akan dijemput, dan
diminta untuk bersiap – siap. Tak lupa memberi tahu dokter jaga dan perawat,
meminta izin berkunjung ke rumah pasien, secara tidak langsung izin untuk tidak
bertugas selama 3 jam di IGD. Benar adanya, menjelang waktu yang dijanjikan Tn.
Nadran sudah datang, mengendarai mobil pribadi ditemani istri dan cucunya.
Sejenak kami singgah di Pasar Ibuah, untuk membeli buah dan beberapa catatan di
kertas yang memang sudah disiapkannya dari rumah.
Jika pernah berkunjung
ke Payakumbuh, maka tak sulit untuk menemukan rumah Tn.Nadran yang berdekatan
dengan pemandian Batang Tabik. Namun, karna kami bertiga belum pernah ke objek
wisata ini, maka perjalanan Kamis sore menjadi suasana yang baru.
Rumah tua berlantai dua, terkesan lebih
besar dibanding rumah penduduk sekitar. Hanya ditempati oleh mereka berdua,
sedang dua anaknya merantau, sesekali si Wawan, cucu dari anak sulungnya yang menemani
tidur di rumah. Ukhti Nae dan Oca langsung diajak menuju dapur buat menyiapkan
makanan sedangkan aku tetap di ruang keluarga berbincang dengan Tn.Nadran - sang
kakek sambil menyaksikan berita sore yang disiarkan TV.
Azan pun berkumandang, pertanda saatnya waktu
berbuka. Menu malam ini : gulai ayam, telur dadar, tumis kangkung dan sambalado
teri menemani makan malam kami. Berbaur dalam suasana kekeluargaan, membuat
masakan terasa lebih nikmat. Sesekali sobatku Oca mendokumentasikan lewat
kamera handphone nya. Rasa ingin bermalam di sini, namun jam telah menunjukkan
pukul 20.00 WIB, kami pun mesti kembali untuk melanjutkan tugas jaga, karna hal
ini menyangkut attitude dan tanggung
jawab.
Kembali ke rumah sakit, kali ini ukhti Oca yang
bertindak sebagai sopir, karna diantara kami bertiga hanya beliau yang bisa
mengendarai mobil. Kenangan yang tak terlupa, malam ini mengakhiri perjumpaan
kami dengan Tn.Nadran.
***
Ketika
ku baca firmanNya, “sungguh tiap mukmin bersaudara”
Aku
merasa, kadang ukhuwah tak perlu dirisaukan
Tak
perlu, karena ia hanyalah akibat dari iman (Salim
A.Fillah)
Ketika ukhuwah berkisah, segalanya
adalah cermin dan pembelajaran. Memahami akan nikmatnya interaksi, tak mesti
ada perbedaan antara dokter - perawat - pasien, semua meleburkan diri dalam
kajian simbiosis mutualisme. Mengisahkan jejak - jejak impianku, saat - saat
menyapa pasien di tiap pagi, saat tak ada kekhawatiran memberikan nomor
handphone ku, saat senantiasa mengingatkan ibadahnya, saat membawakan makanan
seadanya di tiap follow up harian, saat berkunjung ke rumah mereka, saat
pertemuan kami mengubah jalan cerita dokter muda - pasien menjadi hubungan
kakek – cucu, orang tua – anak, adik – kakak, dan persahabatan..
*Tulisan
karya dr. Poby Karmendra ini terangkum dalam antalogi kisah nyata
inspiratif "Jalan Menuju Dokter Muslim" yang diterbitkan oleh Indie Pro
Publishing pada awal 2012
dan telah masuk pada cetakan ke II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar