Kawan, sejenak
kita hentikan pembicaraan karna handphone ku berdering, tanda ada SMS masuk. Pesan
dari 0831815xxxxx, nomor pengelola wisma, sejenak ku bacakan biar engkau bisa
mendengarkannya :
“Sebuah tempat tinggal
bernama wisma, menjalin ukhuwah dan kebersamaan untuk sebuah cita – cita mulia.
Tempat belajar untuk saling menghargai dan menghormati saudara. Belajar untuk
bisa saling memahami dan menasehati. Pelepas lelah dan letih di tengah
kesibukan kampus dan rumah sakit yang luar biasa. Tempat menumbuhkan kembali
bibit – bibit semangat yang telah terkikis karena berbagai kesibukan yang ada.
Ikhwafillah, ana yakin kita semua pasti tahu dan sadar bagaimana kondisi wisma
sekarang ini. Fungsinya sudah jauh melebar dari apa yang seharusnya.
Ikhwafillah, mari bertekad untuk memperbaiki fungsi wisma kembali. Mulailah
dari diri kita pribadi.
1. Perbaiki diri untuk
semakin dekat dengan Allah karena keshalehan kita bisa berpengaruh bagi saudara
kita.
2. Mari tumbuhkan kembali
semangat bahwa wisma adalah rumah kita yang harus dijaga kebersihan dan
kenyamanannya.
3. Mari hiasi wisma di
waktu luang untuk tilawah qur’an, belajar, diskusi tentang kebaikan dan silaturahim.
4. Mari saling
mengingatkan untuk kebaikan.
By : BPW (Badan
Pengelola Wisma) FK UNAND, berbenah untuk masa depan wisma yang cemerlang.”
SMS
kali ini menyadarkan ku dengan keadaan wisma saat ini. Mesti tak lagi jadi
bahagian pengelola, namun keadaan sekarang tak bisa terlepas dari posisi ku
sebagai santri yang paling senior di sini, sudah 5 tahun. Wisma begitulah kami
menyebutnya, sebuah pesantren mahasiswa yang dimiliki tiap fakultas. Kedokteran
memiliki 3 wisma ikhwan dan 7 diperuntukan bagi akhwat , ia dikelola oleh Badan
Pengelola Wisma. Tak jauh berbeda dengan kontrakan, hanya saja di sini terdapat
aturan dan program pembinaan, biasanya selalu ditawarkan saat Bimbingan
Mahasiswa Baru (BIMBA), jika setuju maka sang junior akan ditempatkan di wisma
berbaur dengan penghuni lama yang berlatar angkatan dan daerah yang berbeda.
***
Sabtu siang, akhirnya usai jua
mengikuti tes TOEFL di Auditorium UNAND setelah melakukan kesalahan besar
dengan datang terlambat. Masih ingat dalam ingatanku, matahari terik memanasi
ubun – ubun kami saat sampai di kampus Jati, begitulah orang mengenal lokasi
kampus kedokteran yang terpisah dari kampus pusatnya di Jerman – Jeruk Manis
(red : Limau Manih). Butuh 45 menit perjalanan dengan bus kota karena mesti
melewati Pasar, ditemani bunyi musik yang memecahkan gendang telinga, namun
sepertinya telah menjadi ciri khas bus kota.
Terlihat tak begitu besar, gedung
putih berbentuk bundar menyapa kehadiran kami, sepertinya inilah rupa gedung
utama. Kami hanya bertiga datang ke Jati, aku seorang diri dan kawan ku Yusuf, seorang mahasiswa baru yang ku kenal
sejak SMA, ia datang bersama bapaknya yang berperawakan seperti seorang datuk. Datangnya
kami ke Jati, hanya untuk mencari tahu keberadaan wisma Ababil.
Langkah ku berlanjut ke dalam kampus,
sempat tertipu dengan penampilan luarnya, kampus yang sangat panjang. Berjalan perlahan sambil memandangi mahasiswa
berseragam hitam - putih, jelas sekali parasnya sebagai mahasiswa kedokteran, tak
lepas buku dari tangan mereka, asyik sekali bercerita, sesekali ada yang
bersorak, sepertinya sedang membahas soal ujian yang baru usai mereka hadapi.
Ragu untuk bertanya, saat bingung melanda ku dapati dua orang berbaju koko
berjalan memasuki gerbang kampus FK, serupa benar gayanya dengan mentorku waktu
di SMA. Ku dekati mereka sambil mengajak Yusuf dan bapaknya.
“Assalamu’alaikum, Bg kenalkan saya
Poby mahasiswa baru 2005”, sambil bersalaman dan memperkenalkan Yusuf..
“Ya Dek,saya Randi biasa disapa
Bubuy angkatan 2002 dan ini Mukri angkatan 2004, ada yang bisa dibantu ?”,
jawabnya penuh keakraban.
“Saya mau cari wisma Ababil, mentor
saya di SMA menyarankan untuk tinggal di wisma Ababil saja jika lulus kedokteran”,
tanya ku
“Oo..wisma Ababil sudah tak ada lagi
Dek, yang ada wisma Tarbawi di komplek
PJKA, abang juga tinggal di sana, nanti abang antar. Sudah sholat Dzuhur ? yuk,
kita ke belakang dulu, mungkin anak – anak wisma juga lagi kumpul di sana..” ia
pun memberi sedikit penjelasan, sambil melangkah ke mushala Asyifa.
Usai dzuhur, diperkenalkannya kami
dengan beberapa mahasiswa lainnya, mereka aktivis kampus, pengurus Forum Studi Kedokteran Islam (FSKI)
seperti Rohis di SMA ku. Tak lama menunggu, seorang mahasiswa angkatan 2003 mengantarkan ku ke wisma yang dimaksud.
Aulia Rahman, mahasiswa asal Pekanbaru yang cukup kharismatik. Perjalanan yang
cukup melelahkan, agar tak terlalu memutar jalan, kami diajak mengambil jalan
pintas meniti pematang sawah. Rasa penasaran memenuhi ruang pikiranku..
Rumah bertuliskan “ahlan wa sahlan,
Wisma Tarbawi”, menegaskan ini rumah yang dimaksudkan, tidaklah terlalu besar, terkesan sederhana, lantainya
hanya dengan semen biasa, ku pandangi sekeliling ruang, sebuah ruang lepas
berukuran 4 x 5 meter, ada papan pengumuman, ada 4 buah kamar yang saling
berhadapan. Kedatangan kami sepertinya
sudah ditunggu, karna saat kami tiba, sudah berkumpul beberapa orang penghuni
wisma. Mereka menyambut kami dengan penuh akrab, berbaur dalam kekeluargaan,
suasana yang tidak asing lagi bagiku karna saat masih SMA, selalu ku sempatkan
datang ke wisma Faterna jikalau ke Padang , sebuah wisma milik mahasiswa
Peternakan,dan di sanalah tempat tinggal mentorku saat SMA.
“Dek, selamat datang di wisma
Tarbawi, abang – abang di sini dari berbagai angkatan dan asal daerah. Silahkan
nanti berkenalan. Di sini tidak bisa bebas seperti di kontrakan, kita memiliki
aturan dan program. Jika sholat mesti ke mesjid, tiap pagi kita ada taklim,
tiap senin – kamis puasa sunnah bareng – bareng. Adik – adik bisa numpang di
sini selama 1 minggu, jika merasa kurang cocok, kami akan bantu carikan tempat
tinggal.. Oh ya, jika adik butuh buku – buku bisa dipinjam punya abang –
abang..”, ujar bang Aulia menjelaskan sangat rinci seperti seorang salesman
menawarkan barang dagangannya..
“Afwan Bang, mau bertanya, tapi
jawab jujur ya ?”, kata ku serius..
“Ya, ada apa ?”
“Apa benar ini wisma ikhwah ? mentor
saya bilang wisma ikhwah di sini bernama wisma Ababil..”, tanyaku
“hahahaha.., iya Dek, ini wisma
ikhwah, lihat itu..”, jawab bang Aulia sambil menunjuk ke pintu kamarnya, dan
yang lain spontan tertawa..
***
Lima tahun kemudian
Kawan, mengingat kembali kisahku
lima tahun yang lalu. Dan kini, posisiku telah menggantikan bang Aulia, kini ia
telah berpraktek dokter di Duri . Masih di kamar yang sama, dulu ia yang
menemaniku, sedangkan kini aku telah menggantikan posisinya sebagai santri
senior di wisma..
“Assalamu’alaikum, sendirian aja
Dek, masih panas?”, ujarku menyapa Akbar sambil mengganti pakaian dinasku.
Akbar, mahasiswa tingkat dua yang sejak kemaren mengalami panas tinggi..
“Ya bang, yang lain masih di kampus,
udah agak mendingan, terakhir 38 0C udah mendingan dari kemaren..”..
“Udah makan Dik ? Abang suapi ya..”,
tawarku..
“Belum bang, tadi nitip makanan tapi
Ari belum juga pulang..”, jawabnya
Usai berganti pakaian, ku siapkan
nasi buat Akbar, kebetulan ada sambal yang sempat ku beli di warung sebelum
pulang. Ku suapi ia sambil menceritakan kejadian yang ku alami hari ini di
rumah sakit, maklum saja aku juga sedang menjalani pendidikan klinik di bagian
Obstetri - Gynekologi RSUP Dr.M.Djamil Padang. Beginilah kami memaknai arti
ukhuwah di wisma, seperti Akbar yang sudah serasa adik kandung ku sendiri.
***
Padang, 28 Januari 2011
Kawan, sore ini hujan masih hengkang
dari kota Padang, cuaca tak bersahabat untuk melangkahkan kaki menuju mesjid
Al-Hidayah, satu – satu nya mesjid komplek. Di sebuah ruang, enam orang santri menggelar sajadah di ruang
tengah untuk Maghrib berjamaah. Wisma Al-Quds, disinilah aku berada. Rumah
dengan tiga kamar, tidak terlalu besar, cukuplah rasanya untuk ditempati enam
orang, tak berapa jauh dari Wisma Tarbawi , namun lebih dekat dengan pagar
kampus. Kemudian teruslah berjalan, jika
bertemu pertigaan, ikuti petunjuk jalan, jelas tertera jalan Mandailing, sekitar
500 meter darinya kita akan temukan wisma Ibnu Sina. Jika kawan tak hendak pulang,
maka bermalam lah di sini, setidaknya untuk mendapatkan kehangatan ukhuwah di
dalamnya..
Kawan, mungkin sedikit berbagi
cerita, sudah sejak lama orang tua ku menyarankan agar keluar wisma, memilih
kontrakan saja. Mereka amat khawatir jikalau aku terperangkap dengan ajaran
sesat seperti berita yang hangat dibicarakan. Dengan penuh yakin, ku berikan
penjelasan..
Kawan, engkau mungkin mengira hidup
kami tanpa masalah, kami juga mahasiswa seperti mahasiswa lainnya, lahir dari
rahim yang berbeda, rambut sama hitamnya tapi beda pemikiran, kami pernah
salah, pernah bertengkar, pernah jengkel, pernah juga futur dalam beribadah
seperti yang lain.. Tetapi di antara kami, masih ada yang sabar mengingatkan,
ada yang mengalah, ada yang menyeimbangkan suasana sehingga saat kau datang ke
sini, terasa amat menyejukkan..
Kawan, jikalau nanti adik mu lulus
di kedokteran, tawarkan saja bersama kami. Yakinlah, keluarga mu tak perlu terlalu
khawatir, kami akan menjaganya seperti adik sendiri. Seperti yang kau lihat,
aku menemukan abang,, mendapatkan adik di sini.
Saat suara azan mendayu membangunkan
pagi, saat – saat itu kami melangkah bersama ke mesjid sambil bercengkrama. Saat
menunggu terbitnya mentari, saat – saat kami membentuk lingkaran keimanan
dengan agenda harian. Saat senin dan kamis hadir menyapa, saat - saat menikmati
kebersamaan dalam santap sahur dan berbuka. Saat malam minggu memanggi, saat –
saat kami menghabiskan malam dengan mabit di mesjid kampus. Saat ada waktu
luang, saat – saat itulah kami agendakan untuk rihlah, jogging ke pantai, dan sesekali
membersihkan rumah kami. Saat kau kembali ke kampus mu, berceritalah tentang
apa yang kau lihat di sini, meskipun banyak yang harus dibenahi tapi kami telah
memulai cerita..dari sini..dari balik dinding pesantren..
*Tulisan
karya dr. Poby Karmendra ini terangkum dalam antalogi kisah nyata inspiratif "Jalan Menuju Dokter Muslim" yang diterbitkan oleh Indie Pro Publishing pada awal 2012
dan telah masuk pada cetakan ke II.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar