Rabu, 25 Januari 2012

Sebening Niat Calon Dokter

Setiap tahun pada proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi, jurusan pendidikan dokter menjadi incaran para siswa. Nilai ambang lulusnya pun paling tinggi. Banyaknya peminat mmendorong menculnya fakultas kedokteran swasta atau jalur tambahan di fakultas kedokteran negeri dengan bayaran lumayan besar. Muncul pertanyaan, kenapa banyak yang ingin jadi dokter? Kenapa banyak orangtua ingin anaknya jadi dokter?

Jika tanya pada mahasiswa baru kedokteran, jawaban klasiknya, ”ingin menolong orang yang dalam kesusahan.” Sebuah jawaban tulus dari nurani yang belum terkontaminasi hiruk pikuk dunia yang berpenyakit ini. Demikian juga orangtua, jawabannya ingin anaknya bekerja pada bidang yang penuh pahala, menolong orang yang dalam kesusahan. Sungguh sebuah cita-cita mulia. Namun kenyataannya, setelah menjadi dokter, banyak halangan yang menghambat untuk tetap istiqamah pada tujuan itu.

Dalam sebuah diskusi dengan seorang teman, beliau berkata: lama kita sekolah, ternyata ujungnya hanyalah untuk mencari uang. Bagaikan mutiara yang terkubur lumpur, niat menjadi penyambung tangan Allah untuk bisa membantu pasien mencapai kesembuhan telah terbuang jauh entah kemana. Niat itu larut dalam berbagai kecintaan dunia. Cita-cita luhur telah hilang tatkala jas putih resmi jadi pakaian sehari-hari. Jika begitu, pantaskah simbol putih sebagai lambang kebersihan hati putih berubah menjadi simbol kain kafan pertanda matinya nurani pemakainya?

Apa yang salah? Jawabannya, cinta berlebihan kepada dunia. Cara pandang materialsitis menjadi penghalang utama tetap bertahannya nurani sang dokter. Di sisi lain, masyarakat juga memberikan nilai ganda kalau dokter berhasil itu bergelimang harta. Jika tidak memiliki pijakan kuat agama, tentu akan goyah dengan simbol duniawi tersebut. Pengobatan mungkin jadi mahal atau malah muncul tindakan di luar indikasi medis. Kalau sudah begini, biasanya masyarakat memberikan standar kedua, ”dokter telah kehilangan  nurani”. Pandangan materialistis menandakan hal-hal bersifat duniawi jadi kiblat masyarakat. Kalau dokter tetap ingin pada jalurnya, masyarakat juga harus memperkuat keyakinan dan mengubah pandangan hidup. Yakni, jadikanlah kehidupan sederhana dan bersahaja sebagai nilai tertinggi dalam tata nilai hidup kita.

Sungguh indah di mata manusia perhiasan dunia. Sudah lumrah ketika bertemu kawan lama semasa sekolah, topik hangat pembicaraan berapa banyak pasien sekarang, berapa jumlah operasi bulanan. Yang paling banyak pasien dinilai paling baik dan paling tinggi maqamnya. Bukankah ini sama dengan menyatakan bahwa yang banyak uang itulah yang terbaik. Biasanya pembicaraan sambung menyambung dengan kebanggaan-kebanggan lain, seperti anak, kendaraan, hobi. Perhiasan-perhiasan duniawi itu menjauhkan kita dari Allah SWT.

Surat At Takasur 1-8 ( artinya) : ”dan bermegah-megahan telah melalaikan kamu kepada Allah, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan jangalah begitu kelak kamu akan mengetahui, janganlah begitu jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan Ainul Yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan ( yang kamu bermegah-megahan didunia itu).”

Maka wahai para pejalan dan pencari kebahagiaan hakiki, bukankah indahnya dunia hanya sebelum dimiliki? Keindahan hakiki adalah hati yang selalu diselimuti kasih sayang Allah. Tundukkan kepala dan lihat ke dalam, auskultasilah kalbu kita dengan stetoskop makrifat, apa yang ada di dalam kalbu itu. Periksalah saat shalat, apakah kita masih membuat resep saat shalat, atau malah mendiagnosis penyakit saat shalat atau malah selesai satu tindakan operasi saat shalat. Kalau seperti itu, maka kiblat hati itulah yang kita sembah.

Hilangnya ikatan hati dengan Allah dalam praktik kedokteran akan jadi pintu awal  kerusakan dunia medis ini. Dokter sang penyembuh yang sedang perlu topangan penyembuhan karena hatinya sedang sakit dan terancam kematian (kebutaan). Ingatlah, barang siapa yang buta di dunia, maka akan dibangkitkan di akhirat dalam keadaan buta pula. Dan barangsiapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya (QS. Al Israa: 72).

Sesungguhnya ilmu kedokteran itu bagian dari ilmu yang datang dari Allah SWT, maka wajiblah ia mendekatkan diri kepada Allah. Jika tidak begitu, maka ilmu ini tidak lebih dari ilmu untuk mencari makan (ilmu untuk memproduksi ATP/kalori). Kalau kita bisa mengkaji ilmu kedokteran dengan hati, tentunya akan berbuah suatu pemahaman yang sempurna tentang diri. Ingatlah, barang siapa yang kenal akan dirinya maka akan kenal akan tuhannya.

Pemahaman diri bagi para dokter yang mempelajari seluk beluk ilmu tubuh sebagai komponen jasad, komponen somatik atau diri yang terlihat oleh mata baik dengan mata telanjang atau bantuan mikroskop paling canggih sekalipun, tinggal kita mengenal komponen yang tidak tampak yaitu: hati, ruh dan nurani. Ketika kita sudah mengenal komponen tesebut, tentunya pemahaman tentang diri menjadi pengenalan yang tidak ada celahnya. Sehingga, diharapkan akan bermuara pada pengenalan akan Allah SWT. Kajian sang dokter yang mengkaji diri dari satu sel hingga zat Allah SWT. Dengan pendekatan ini, maka hati akan kembali hidup. Dengan demikian, diharapkan niat menyembuhkan hamba yang lagi sakit akan selalu terjaga, rasa ikhlas yang lahir dari hati yang larut dalam makrifatullah. Insya Allah..

*dikutip dari tulisan dr. Etriyel (Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Unand) yang dimuat di Padang Ekspres pd Rabu, 25 Januari 2012